Nabi Muhammad Juga Tidak Bisa Adil
Kalau ditanya siapa yang senang dengan adanya konsep poligami?, pasti jawabannya adalah kaum laki-laki. Sedangkan siapa yang paling tidak suka?, pasti dengan serempak para kaum hawa akan menjawab ‘kami’. Ini memang salah satu konsep yang masih menimbulkan masalah, bahkan pro-kontra. Setidaknya masalah itu dikarenakan ada yang tidak suka dan ada yang suka. Disamping juga pada penerapannya masih terjadi banyak masalah, terutama dalam masalah keadilan di antara para istri.
Ada yang berpendapat, tentang legalitas poligami ini sudah final, dalam arti memang sudah legal secara agama. Tinggal bagaimana dalam penerapannya tidak menimbulkan masalah. Mengingat hukum islam itu ditetapkan dalam rangka kemaslahatan. Sedangkan menurut yang lain, legalitas poligami ini masih dipertanyakan. Misalnya yang menjadi alasan adalah masalah keadilan yang menjadi syarat adanya poligami. Sementara di salah satu ayat Allah sudah menegaskan bahwa manusia tidak akan mampu adil.
Untuk memperjelas hal ini, maka penting bagi kita untuk mengacu pada nabi Muhammad saw. Beliau adalah penyampai pesan Allah terhadap manusia. Maka mengacu pada beliau merupakan sebuah keniscayaan. Terlebih beliau termasuk yang melakukan poligami. Kita perlu melihat, apakah beliau bisa berlaku adil pada istri-istrinya atau tidak?.
Sebelum kita membahas lebih lanjut, kita harus meyakini bahwa Nabi memanglah merupakan panutan. Beliau merupakan potret manusia yang sempurna, sehingga layak untuk tiikuti. Tidak perlu ada keraguan sedikitpun bahwa beliau sama dengan manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan sehingga tidak layak diikuti. Beliau itu sudah mempunyai sifat ma’shum, dalam arti beliau tidak akan dibiarkan dalam kesalahan, walaupun beliau juga manusia biasa. Apa-apa yang dilakukan beliau tidak akan sampai pada tingkatan hukum makruh, apalagi haram. Paling ‘banter’ apa yang beliau kerjakan masuk kategori mubah.
Selanjutnya, mari kita kembali lagi pada pokok bahasan dengan melihat hadits berikut,
وَرَوَى أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِي مِنِ طَرِيْقِ مَسْرُوْق عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رسول الله صلى الله سلم لَا يَكَادُ يَخْرُجُ مِن الْبَيْتِ حَتَّى يَذْكُرُ خَدِيْجَةَ فَيُحُسِنُ الثَّنَاءَ عَلَيْهَا، فَذَكَرَهَا يَوْمًا مِن الْأَيَّامِ، فَأَخَذَتْنِي الغِيْرَةُ فَقُلْتُ: هَلْ كَانَتْ اِلَّا عَجُوْزًا قَدْ اَبْدَلَكَ الله خَيْرًا مِنْهَا؟. فَغَضَبَ ثُمَّ قَالَ: لَا واللهِ مَا أَبْدَلَنِي اللهُ خَيْرًا مِنْهَا، آمَنَتْ إِذْ كَفَرَ النَّاسُ، وَصَدَّقَنِي اِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ، وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَّمَنِي النَّاسُ، وَرَزَقَنِي اللهُ مِنْهَا الوَلَدُ دُوْنَ غَيْرِهَا مِنَ النِّسَاءِ.
“Imam Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Masruq dari Aisyah. Aisyah berkata: Rasulullah itu hampir tidak keluar rumah kecuali menyebut Khadijah dan memuji-mujinya. Aku pun cemburu, lalu berkata pada beliau: Bukankah dia hanya perempuan tua yang telah diganti oleh Allah dengan yang lebih baik?. Beliau pun lalu marah. Kemudian berkata: demi Allah, Allah tidak menggantinya dengan yang lebih baik. Dia beriman di saat orang-orang masih kufur. Dia mempercayaiku di saat yang lain mendustakanku. Dia membantuku di saat yang orang-orang menghalangiku. Allah telah memberikan rizki anak melalui dia dan tidak melalui yang lain.”
Dari hadits tersebut kita bisa tahu bahwa Siti Aisyah cemburu terhadap Siti Khadijah. Bahkan sampai muncul kata-kata yang bernada menghina pada Siti Khadijah. Kecemburuan ini disebabkan kecintaan nabi yang sangat besar pada sang Istri pertama. Kecintaan ini sudah diakui nabi secara langsung. Dalam kesempatan lain, nabi bersabda,
إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا
“Sesungguhnya aku diberi rizki untuk mencintainya”
Apa yang nabi sampaikan ini berawal dari keinginan nabi untuk memberikan daging yang disembelih pada keluarga Siti Khadijah. Akan tetapi Siti Aisyah tidak setuju dengan keinginan nabi tersebut.
Sampai di sini, dengan bukti adanya kecemburuan dari Aisyah, menunjukkan nabi masih belum bisa memberikan cinta yang sama pada istrinya. Kecintaan Nabi pada Khadijah masih lebih besar dibandingkan dengan kecintaan beliau pada istri yang lain. Namun ketika membandingkan antara kecintaan nabi pada Aisyah dengan istri-istri nabi yang lain, selain Khadijah, maka kecintaan nabi pada Aisyah inilah yang paling besar. Dan ini tidak bisa dipungkiri. Bahkan nabi pun mengakuinya.
Pada suatu malam, setelah membagi waktu untuk istri-istrinya secara adil, nabi berdoa,
اَللَّهُمَّ هَذِهِ قِسِمَتِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تُؤَاخِذْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ
“Ya Allah ini adalah caraku menggilir (istri-istrinya) dengan apa yang aku miliki, oleh karena itu jangan kau siksa aku sebab apa yang tidak aku miliki, sementara kau memilkinya”
Apa yang nabi sampaikan ini karena kesadaran beliau bahwa kecintaan terhadap Aisyah lebih besar dari pada istri-istri yang lain. Beliau dengan sangat sadar tidak bisa membagi cintanya secara adil untuk semua istri-istrinya. Padahal Allah sudah menggariskan untuk berlaku adil ketika melakukan poligami.
Melihat kenyataan ini, nabi memang tidak bisa berlaku adil, tapi dalam hal cinta, sebab cinta itu sudah di luar kendali manusia. Itu semua dalam kendali Allah. Sedangkan di dalam selain masalah cinta, nabi bisa berlaku adil. Seperti memberikan waktu secara adil untuk istrinya-istrinya. Nabi tidak pernah sekalipun berlaku adil dalam hal ini. Maka dari itu, lalu muncul kesimpulan bahwa nabi bisa berlaku adil dalam hal zhahir, namun untuk urusan bathin nabi tidak bisa melakukannya. Dan ini tidak menjadi aib, karena yang bathin ini sudah di luar kendali manusia.
sumber: cyberdakwah
Tau darimana ente.... pernah hidup di masa lalu...
ReplyDeleteMkanya baca hadist2 mas, distu semua jelas kok, gimana persaan istri2 mamad, mlah kasus si mamad selingkuh sma budak istrinya ampe komen kekesalan aisha yg menyindir seolah2 olloh swt selalu siap sedia dengan whyu2nya untuk kepentingan pribadi yg menguntungkan si nabi ...jgn bikin malu muslim, jawaban mas itu ngeles ngk berbobot.
Delete