Syarah Bulugul Marom (Hadits no. 1)

Syarah Bulugul Marom (Hadits no. 1)

بُلُوغُ اَلْمَرَامِ مِنْ أَدِلَّةِ اَلْأَحْكَامِ

KITAB THOHAROH (BERSUCI)

Syaroh :
Kitab : Masdar dari Kataba – yaktubu – Kitaban – Kitabatan – katban dan susunan hurufnya berkisar pada makna Pengumpulan. Dinamakan Al Kitab sebagai kitab dikarenakan ia mengumpulkan sesuatu yang diletakkan padanya (diringkas dari Kitab Fathul Majid)
Thoharoh : Secara bahasa adalah ungkapan dari kebersihan, sedangkan menurut istilah Syar’i ungkapan dari mencuci anggota (tubuh) tertentu dengan sifat yang tertentu. (Ta’rifat Al Jurjani 1/45)

Bab Miyah (Air-Air)

Syaroh :
Bab : Sesuatu yang keluar dan masuk darinya (Subulus Salam 1/18)
Miyah : Jamak dari air, asalnya Mawahun, oleh karenanya dinampakkan huruf Ha pada jamaknya. Miyah yaitu jenis yang terdapat pada yang sedikit maupun yang banyak. Dan tidaklah ia dijamak melainkan karena terdapat perbedaan jenis-jenisnya ditinjau dari hukum syar’i padanya. Ada jenis (air) yang dilarang menggunakannya, ada pula yang dimakruhkan. dan mengenai perbedaan kesucian pada sebagian air, seperti air laut, telah dinukil oleh Pensyaroh tentang hal ini dari Ibnu Umar Rodhiyallohu anhu dan Ibnu Amr Rodhiyallohu anhu (Subulus Salam 1/18)

1- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي اَلْبَحْرِ: ( هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ ) أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ
[pasal Tentang Air Laut]
Terjemahan :
1. Dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu ia berkata : Rosululloh sholollohu alaihi wa salam bersabda tentang air laut : “Ia suci airnya dan halal bangkainya”. Dikeluarkan oleh imam yang empat, Ibnu Abi Syaibah dan lafadz hadist ini adalah dari beliau, dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi.
Takhrij Hadits :
Hadits Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu ini memiliki beberapa jalan dan memiliki beberapa syawahid dari para sahabat lainnya. Jalan-jalannya sebagai berikut :

1. dari Imam Malik bin Anas dari Shofwaan bin Sulaim dari Sa’id bin Salamah dari Al Mughiroh bin Abi Burdah Ia mendengar Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu berkata : Datang seorang laki-laki kepada Rosululloh sholollohu alaihi wa salam, lalu bertanya : ‘Ya Rosululloh kami biasa mengarungi lautan dan kami membawa sedikit air, apabila kami berwudhu dengannya kami kehausan, apakah kami boleh berwudhu dengan (air laut), maka Rosululloh sholollohu alaihi wa salam menjawab : seperti hadits diatas

Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh:

  • Imam Abu Dawud dalam Sunannya (no. 83), 
  • Imam Nasa’i dalam Sunan Kubronya (no. 58 & 4862) dan Sunan Sughronya (no. 59 & 332), 
  • Imam Tirmidzi dalam Sunannya (no. 69), 
  • Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (no. 386), 
  • Imam Ibnu Khuzaimah (no. 112), 
  • Imam Malik dalam Muwathonya (no. 42), 
  • Imam Syafi’I dalam Musnadnya (no. 1), 
  • Imam Ahmad dalam Musnadnya (no. 7232, 8720), 
  • Imam Darimi dalam Sunannya (no. 754 & 2063), 
  • Imam Ibnu Abi Syaibah (1/154), 
  • Imam Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya (no. 111), 
  • Imam Al Hakim dalam Mustadroknya (no. 448), 
  • Imam Ibnu Hibban dalam Shohihnya (no. 1269& 5348), 
  • Imam Al Baghowi dalam Tafsirnya (3/101) & Syarhus Sunnah (1/220), 
  • Imam Al Baihaqi dalam Sunannya (no. 1 & 19438) & Ma’rifatul Atsar (no. 105 &5820), 
  • Imam Thohawi dalam Musykilah atsar (no. 3397), 
  • Imam Daruquthni dalam Sunannya (no. 83), 
  • Imam Ibnul Jarud dalam Muntaqhonya (no. 43), 
  • Imam Ibnul Mundzir dalam Ausathnya (no. 1550), 
  • Imam Al Uqoily dalam Ad Dhuafaaul Kabir (no. 701), 
  • Imam Al Qosim bin Salam dalam At Thohur (no. 210).

Biografi Perowi Hadits

  • Imam Malik bin Anas (93-179 H) adalah Imam Darul Hijroh (kota Madinah), Imam yang sangat masyhur dengan agama dan haditsnya, memliki kitab Muwatho yang terkenal dalam bidang hadits. 
  • Abu Abdillah atau Abul Harits Shofwaan bin Sulaim (60-132 H), seorang ulama Madinah ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Uyainah (Tarikh Kabir Bukhori no. 2930), ditsiqohkan Imam Abu Hatim dan Imam Ahmad bin Hambal, Imam Yahya bin Said Al Qothon berkata : “Shofwaan bin Sulaim lebih saya sukai dari Zaid bin Aslam” (Zaid ulama yang tsiqoh-pent) (lihat Jarh wa ta’dil Ibnu Abi Hatim no. 1858), ditsiqohkan oleh Imam Al’ijli dalam kitab ma’rifatus tsiqot (no. 762), Imam Mufadhol bin Ghosan Al Gholabi berkata : ‘Ia (shofwan) berkata dengan qodar (tertuduh memiliki pemikiran qodariyah) (lihat Tahdzibul Kamal Al Mizzi). 
  • Sa’id bin Salamah Al Makhzumi dari Bani Al Azroq, ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot (6/364), begitu juga Imam Nasa’I mentsiqohkannya (lihat Tahdizbut Tahzdib no. 67), Imam Syafi’I berkata : ‘dalam sanad hadits ini ada orang yang saya tidak mengetahuinya’, Imam Al Baihaqi berkata mungkin yang dimaksud adalah Sa’id bin Salamah atau Al Mughiroh bin Abi Burdah atau keduanya (lihat sunan Baihaqi no. 2 dan Talkhisul khobir Ibnu Hajar no. 1), hal senada juga diungkapkan oleh Imam Dzahabi dalam ta’liq nya terhadap Mustadrok Hakim (no. 498). Beliau ditsiqohkan oleh Imam Nasa’I dan Imam Ibnu Hibban yang membuat rowi ini bisa dijadikan hujjah haditsnya (lihat tahdzibul kamal dan Tahdzibut tahdzib). 
  • Al Mughiroh bin Abi Burdah (w. >100 H) ada yang mengatakan namanya Ibnu Abdulloh bin Al Mughiroh bin Abi Burdah ada yang mengatakan lagi namanya adalah Abdulloh bin Al Mughiroh bin Abi Burdah, telah berlalu penilaian Majhul dari Imam Syafi’I, dan yang benar beliau tidak majhul dikarenakan sejumlah rowi tsiqoh meriwayatkannya dan dalam Tarikh Ya’qub bin Sufyan dari Yahya bin Bukair dari Al Laits ia berkata : ‘pada tahun seratus Al Mughiroh bin Abi Burdah berangkat menjadi tentara perang ke Afrika’, Berkata Abdulloh bin Abi Sholih : ‘saya bersama Al Mughiroh pada peperangan di konstatinopel, dan beliau adalah seorang yang banyak shodaqoh, setiap orang yang meminta tidak pernah ditolak, Bahkan Imam Ali bin Madini memastikan bahwa Al Mughiroh bin Abi Burdah dari Bani Abdud Daar mendengar dari Abu Huroiroh dan tidaklah ia mendengar darinya kecuali hadits ini. 
  • Imam Abu Dawud pun menilainya : Ma’ruf (dikenal), kemudian beliau juga mendapatkan penilaian tsiqoh dari Imam Nasa’I dan Imam Ibnu Hibban (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib).
  • Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu (w. 57 H atau 58 H atau 59 H dalam usia 78 th) salah seorang ulamanya Sahabat, para ulama berselisih tentang nama asli beliau, Imam Muhammad bin Sa’ad meriwayatkan dari Ibnu Ishaq Ia berkata : Nama Abu Huroiroh adalah Abdurokhman bin Shokhr hal inilah yang dipegangi oleh beberapa ulama yang menulis kitab tentang nama-nama dan Kunyah. Sebab Beliau dikunyahi dengan Abu Huroiroh menurut penuturun beliau sendiri karena pada suatu hari beliau membawa seekor anak kucing (hirroh) di lengan bajunya, lalu Rosululloh sholollohu alaihi wa salam melihatnya dan berkata kepadanya : ‘Apa itu?’ beliau Rodhiyallohu anhu pun menjawab : ‘Hirroh’, lalu Nabi sholollohu alaihi wa salam berkata lagi : Ya Abu Huroiroh’ (lihat Al Isytiab ibnu Abdil Bar 2/70). Hal inilah yang menyebabkan beliau memakai nama kunyah ini, seorang Muslim manakah yang tidak bangga menggunakan nama yang diberikan oleh kekasihnya yang mulia Nabi sholollohu alaihi wa salam. Beliau Rodhiyallohu anhu masuk Islam pada peperangan Khoibar dan setelah masuk Islam senantiasa bersama Rosululloh sholollohu alaihi wa salam berguru kepadanya sampai Beliau sholollohu alaihi wa salam wafat, oleh karena itu tidak mengherankan kalau beliau adalah sahabat nomer satu yang paling banyak meriwayatkan hadits.

Kedudukan Hadits
Hadits ini shohih dan dishohihkan oleh sejumlah ulama hadits diantaranya yaitu :

  • Imam Bukhori sebagaimana diceritakan oleh Imam Tirmdzi, berkata Imam Tirmidzi : saya bertanya kepada Muhammad bin Ismail Al Bukhori tentang hadits ini, Beliau berkata : Hadits Shohih. (Subulus Salam 1/20). 
  • Imam Tirmidzi sendiri setelah meriwayatkan hadits ini berkata : ‘Ini adalah Hadits Hasan Shohih’. 
  • Imam Ibnu Khuzaimah beliau memasukkan hadits ini dalam shohihnya, 
  • Imam Ibnu Abdil Bar, Imam Mundziri, Imam Ibnu Mandah, dan Imam Al Baghowi (lihat Talkhis Khabir 1/10), Syaikh Albani dalam beberapa kitabnya, Syaikh Musthofa Al Adzami dalam ta’liqnya terhadap Shohih Ibnu Khuzaimah, Syaikh Syuaib Arnauth dalam ta’liqnya terhadap Musnad Ahmad, dan sederet para ulama lainnya. 

Sebagian ulama menyebutkan bahwa hadits ini memiliki 2 illat (cacat) yaitu idhtirob (kegoncangan) pada sanadnya dan adanya rowi yang majhul pada sanad ini. adapun yang pertama yaitu kegoncangan sanad dapat kita lihat ketika kita kumpulkan jalan-jalan haditsnya sebagai berikut :

I. Dari ‘Abdur Rokhim bin Sulaiman dari Yahya bin Sa’id dari ‘Abdulloh ibnul Mughiroh dari sebagian bani Mudalij. 

riwayat ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah (1/154), sedangkan Imam Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (no. 111) melalui jalan Sulaiman bin Bilal dari Yahya dan seterusnya. Imam Thohawi dalam Misykalul atsarnya (no. 3399) melaului Al laits bin Sa’ad dari Yahya.
Biografi perowi :

  • ‘Abdur Rokhim bin Sulaiman (w. 187 H) dinilai tsiqoh oleh Ibnu Hajar. 
  • Sulaiman bin Bilal (w. 177 H) dinilai tsiqoh oleh Al Hafudz. 
  • Al laits bin Sa’ad (93,94 -175 H) dikatakan Al Hafidz Tsiqoh Tsabat Faqih Imam. 
  • Yahya bin Sa’id (w. 144) dikatakan oleh Ibnu Hajar tsiqoh tsabat (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). 
  • ‘Abdulloh ibnul Mughiroh nama lain dari Al Mughiroh bin Abi Burdah, telah lewat biografinya. sebagian bani Mudalij adalah Majhul (tidak diketahui), tapi tidak mengapa karena dimungkinkan adalah sahabat Nabi sholollohu alaihi wa salam dan semua sahabat Nabi adil.


II. Dari Muhammad bin Abi Bakr hadatsana Hamaad bin Zaid hadatsana Yahya bin Sa’id dari Abdulloh ibnul Mughiroh dari Bapaknya dari bani Mudalij kemudian menyebutkan haditsnya. 

Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitabnya Ma’rifatus Sunnan wal atsar (no. 112) dan Imam Abu Nua’im dalam Ma’rifatus Shohabat (no. 6611)
Biografi Perowi : 

  • Muhammad bin Abi Bakr (w. 234) dinilai tsiqoh oleh Ibnu Hajar. 
  • Hamad bin Za’id (98-179 H) dikatakan oleh Al Hafidz tisqoh tsabat faqiih (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). 
  • Yahya bin Sa’id dan Abdulloh ibnul Mughiroh sudah berlalu biografinya, Adapun Bapaknya Abu Burdah Imam Abu Zur’ah ditanya tentang nama Abu Burdah bapaknya Al Mughiroh dengan jawaban saya tidak tahu namanya (lihat Jarh wa Ta’dil no. 1547), berarti Ia seorang rowi yang Majhul.


III. Dari Hamad (bin Salamah) dari Yahya bin Sa’id dari Al Mughiroh bin Abdillah dari Bapaknya secara marfu’. 

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Ashim dalam Al Ahad wal Matsani (no. 2486) dari jalan Hadabah dari Hamad dan Imam Thohawi dalam Misykalul Atsar (no. 3398) dari jalan Hajaj ibnul minhal dari Hamad
Biografi Perowi : 

  • Hadabah bin Kholid (w. >230 H) dinilai Al Hafidz tsiqoh tsabat, Nasa’i menyendiri dalam melemahkannya. 
  • Hajaj ibnul minhal (w. 216 atau 217 H) dinilai Alhafidz tsiqoh Fadhil. Hamad bin Salamah (w. 167) dinilai oleh Al Hafidz tsiqoh tsabat atsbatun Naas fii tsabat (manusia yang paling tsabat) berubah hapalan pada akhir hidupnya (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). 
  • Yahya bin Sa’id dan Al Mughiroh serta Bapaknya telah lewat biografinya.


IV. Dari Yahya bin Abi Katsir ia berkata : ditanya Al Mughiroh bin Abdillah bin Abdu Dar bahwa seseorang dari Bani Mudalij bertanya kepada Nabi sholollohu alaihi wa salam, 

riwayat ini dikeluarkan oleh Imam Abdur Rozaq dalam Mushonafnya (no. 7657), Imam Baihaqi menulis haditsnya dalam kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar (no. 110) melalui jalan Yahya bin Said dari Al Mughiroh dan Imam Thohawi dalam Musykilul Atsar (no. 3400) lewat jalur Abdu Robbihi bin Sa’id dari Al Mughiroh dari Abdulloh Bani Mudalij.
Biografi perowi : 

  • Yahya bin Abi Katsir (w. 132 H) dinilai Al Hafidz Ibnu Hajar tsiqoh tsabat akan tetapi mudalis dan memursalkan hadits. 
  • Abdu Robbihi bin Sa’id (w. >139 H) dinilai tsiqoh oleh Al Hafidz (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). 
  • Yahya bin Sa’id, Mughiroh bin Abdillah bin Abdu Dar dan Bani Mudalij telah berlalu biografinya.


Dari jalan-jalan riwayat yang kita lihat, maka terjadi kegoncangan dalam sanadnya, karena hadits goncang (mudhthorib) adalah : 
“Yang terjadi perbedaan periwayatan didalamnya, sebagian mereka meriwayatkan dari satu sisi, sebagian yang lain dari sisi lain yang berbeda, dinamakan mudhthorib jika sama kuat riwayat-riwayatnya, adapun jika salah satu riwayat ada yang lebih unggul dari riwayat yang lainnya, bisa karena perowinya lebih hafidz atau lebih lama menemani gurunya atau sebab lainnya dari faktor-faktor pentarjihan yang dijadikan pegangan. Dalam hal ini maka riwayat yang rojih yang diamalkan dan haditsnya secara mutlak tidak dikatakan goncang serta tidak dihukumi sabagai hadits goncang. Kegoncangan dapat terjadi dalam matan hadits dan dalam sanadnya, juga dapat mengenai seorang perowi dan juga perowi yang diriwayatkan oleh banyak orang. Kegoncangan menjadikan kedhoifan hadits karena hal ini menunjukkan hadits tersebut tidak dhobit”. (lihat Muqodimah Ibnu Sholah h. 17). 
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa kegoncangan yang menyebabkan hadits dhoif adalah yang setara masing-masing riwayatnya, adapun kalau ada riwayat yang rojih maka kegoncangan ini tidak berpengaruh terhadap keshohihan haditsnya. Dan yang rojih dalam riwayat ini adalah dari jalannya Imam Malik bin Anas dari Shofwan bin Malik dari Sa’id bin Salamah dari Al Mughiroh bin Abu Bardah dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu, Dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut :

  1. Al Mughiroh telah tsabit bahwa beliau benar-benar mendengar dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu, sebagiamana ditetapkan oleh Imam ‘Ali ibnul Madini dengan ucapannya : “Al Mughiroh bin Abi Burdah dari bani ‘Abdud Dar mendengar dari Abu Huroiroh dan Ia tidak mendengar darinya kecuali dalam hadits ini”. (lihat tahdzibut thadzib 1/256).
  2. Riwayat yang menyebutkan bahwa Al Mughiroh menerima hadits dari Bapaknya adalah keliru, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hibban : “barangsiapa yang memasukkan antara Ia (mughiroh) dan Abu Huroiroh Bapaknya, maka ia telah wahm (keliru)”. (lihat tahdzibut thadzib 1/256).
  3. Riwayat melalui jalan ini ditulis oleh banyak ulama (sebagaimana bisa dilihat dalam takhrij hadits) dari berbagai madzhab dan tempat yang menunjukkan jalan ini telah menyebar dikalangan ulama kita.
  4. Banyak para Imam Ahli hadits yang pakar dalam mengkritik hadits telah menshohihkan jalan hadits ini.

Adapun cacat yang kedua karena ada rowi yang majhul dalam riwayat ini sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Syafi’I dan ditegaskan oleh Imam Baihaqi dan Imam Adz-Dzahabi bahwa rowi tersebut adalah Said bin Salamah dan Al Mughiroh bin Abi Burdah, maka jawabanya :

A. Said bin Salamah, telah berlalu biografi beliau dan kemajhulan yang dituduhkan kepadanya bisa terangkat dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut :

1. Terdapat dua orang rowi (murid) yang maqbul yaitu Abu Katsir Al Jalah (w. 120 H) yang dinilai shoduq oleh Al Hafidz dan Shofwan bin Salim (60-132 H) seorang rowi tsiqoh yang telah berlalu biografinya. Sehingga mengangkat statu majhul ‘ainya menjadi Majhul Hal, karena definisi seorang rowi yang majhul, sebagaimana dikatakah oleh Imam Al Khotib Al Baghdadi dalam kitabnya Al Kifayah fii ilmi riwayah (88-89) : “Setiap orang yang tidak masyhur menuntut ilmu , tidak dikenal dikalangan ulama dan tidak diketahui haditsnya kecuali dari jalan satu orang rowi seperti …dan jumlah minimal yang dapat mengangkat kemajhulannya adalah Ia diriwayatkan lebih dari dua orang yang masyhur menutut ilmu." 
Akhbarona Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub akhbarona Muhammad bin Nu’aim akhbarona Ibrohim bin Ismail Al Qori akhbarona Abu Zakariya Yahya bin Muhammad bin Yahya ia berkata : ‘Saya mendengar Bapakku berkata jika seorang muhadits (rowi) diriwayatkan darinya dua orang rowi (muridnya) dapat mengangkat kemajhulannya’. Saya berkata (Al Khotib) : ‘tetapi tidak tsabit padanya hukum keadilannya karena riwayat muridnya tadi, sebagian ulama berpendapat keadilan telah tsabit baginya, kami akan menyebutkan kesalahan pendapat mereka dengan kehendak dan Taufik dari Alloh Subhana wa Ta’ala. [selesai nukilan]

dan kesimpulannya tentang rowi majhul adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Albani dalam muqodimah Tamamul Minnah (h. 19-20) : saya (Albani) berkata, “Majhul yang tidak ada meriwayatkan darinya kecuali satu orang adalah Majhul ‘Ain dan kemajhulan ini bisa terangkat dengan riwayat dari dua orang atau lebih, sehingga disebut majhul Hal dan Mastur, riwayatnya dalam hal ini diterima oleh jamaah (fuqoha atau ushuliyyun) tanpa ikatan, sedangkan jumhur (ahli hadits) menolaknya. 
Ibnu Hajar mengatakan dalam syaroh Nukhbah (h. 24) : ‘yang benar riwayat Mastur dan semisalnya didalamnya mengandung beberapa kemungkinan, maka tidak secara mutlak diterima maupun ditolak haditsnya sampai jelas keadaannya sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Imam Al Haromain.’

2. Beliau mendapatkan penilain tsiqoh dari Imam Nasa’I dan Imam Ibnu Hibban serta tidak didapati penilain jarh dari seorang pun. Maka ini menguatkan keadaannya sehingga haditsnya dapat digunakan sebagai hujjah. 
Hal ini diterangkan oleh syaikh Albani masih dalam kitab yang sama : ‘kemungkinanannya untuk menerangkan keadaannya adalah dengan adanya Tautsiq dari Imam yang dianggap pen-tautsiq-kannya, seolah-olah Al Hafidz mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya : ‘Majhul Hal adalah yang meriwayatkan darinya dua orang rowi atau lebih dan tidak mendapatkan tautsiq’. Saya (Albani) hanyalah berkata “yang dianggap pen-tsiqoh-annya” disebabkan disana ada sebagian Ahli hadits yang tidak dipegangi dalam masalah tautsiq, karena mereka memiliki pendapat yang syadz (ganjil) dari mayoritas ulama dengan gampang men-tsiqoh-kan rowi yang majhul, diantara mereka adalah Ibnu Hibban”. 
Kemudian Syaikh Albani memberikan keterangan yang berharga kepada kita dalam kitab yang sama (h. 25) : “wajib diterangkan juga untuk menggabungkan apa yang telah disebutkan oleh Al Mu’alimi masalah lain yang penting juga yang sudah ma’ruf bagi orang yang berkecimpung dalam ilmu ini yang sedikit sekali orang yang memperhatikannya dan kebanyakan penuntut ilmu lalai darinya, yaitu rowi yang telah mendapatkan tautsiq dari Ibnu Hibban dan telah meriwayatkan darinya sejumlah rowi yang tsiqot serta haditsnya tidak memiliki kemungkaran maka rowi tersebut adalah Shoduq dan dapat digunakan sebagai hujjah haditsnya”.

3. Beliau mendapatkan penguat (tawabi’) dari :
a. Yazid bin Muhammad Al Qurosy, ditakhrij haditsnya oleh Imam Al Hakim dalam Mustadroknya (no. 451) dari jalan ‘Ali bin Hamsyadz Al ‘Adl hadatsana ‘Ubaid bin ‘Abdul Wahid hadatsana Ibnu Abi Maryam akhbarona Yahya bin Ayub hadatsani Kholid bin Yazid akhbarona Yazid bin Muhammad Al Qurosy dari Al Mughiroh bin Abi burdah dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu.
Biografi perowi : 

  • ‘Ali bin Hamsyadz Al ‘Adl (258 – 338 H) dikatakan oleh Adzahabi tsiqoh hafidz imam syaikh Naisabur (lihat siyar a’lamin nubala no. 221) . 
  • ‘Ubaid bin ‘Abdul Wahid (w. 285) dinilai oleh Al Hafidz tsiqoh yang shoduq dan dikatakan oleh Ibnul Munadi Ia berubah pada akhir hidupnya (lihat lisanul mizan 2/155). 
  • Ibnu Abi Maryam (144 -224 H) nama aslinya Sa’id ibnul Hakam, dikatakan oleh Al Hafidz tsiqoh tsabat faqih. 
  • Yahya bin Ayub (w. 168 H) Ibnu Hajar menilainya shoduq terkadang salah. Kholid bin Yazid (w. 139 H) dinilai Al Hafidz tsiqoh faqih. 
  • Yazid bin Muhammad Al Qurosy dikatakan tsiqoh oleh Al Hafidz Ibnu Hajar (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib).


b. Al Jalah Abu Katsir, ditulis haditsnya oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (no. 8912) dari jalan Qutaibah bin Sa’id dari Laits dari Al Jalah Abu Katsir dari Al Mughiroh bin Abi burdah dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu.
Biografi Perowi : 

  • Qutaibah bin Sa’id (150-240 H) dinilai oleh Al Hafidz tsiqoh Tsabat. 
  • Laits bin Sa’ad (93,94 H – 175 H) dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar tsiqoh tsabat faqih imam. 
  • Al Jalah Abu Katsir (w. 120 H) dinilai shoduq oleh Al Hafidz (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). 
Akan tetapi ketika dibandingkan dengan riwayat lainnya dari jalan Yahya bin Bukair ada tambahan sanadnya yaitu Yazid bin Abi Habib diantara Laits dan Al Jalah serta Sa’id bin Salamah diantara Al Jalah dengan Al Mughiroh. Ditulis haditsnya oleh Imam Baihaqi dalam Sunannya (no. 2), Imam Al Hakim dalam Mustadroknya (no. 493) dan Imam Qosim bin Salam dalam kitabnya Thohur ( no. 211) semuanya lewat jalan Yahya bin Bukair dari Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abi Habib dari Al Jalah Abu Katsir dari Sa’id bin Salamah dari Al Mughiroh bin Abi burdah dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu.

Biografi Perowi : 

  • Yahya bin Bukair (154-231 H) dikatakan oleh Ibnu Hajar tsiqoh dari Laits diperbincangkan pernah mendengar dari Malik. 
  • Yazid bin Abi Habib (w. 128 H) ditulis oleh Al Hafidz tsiqoh faqih dan terkadang memursalkan. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib) . adapun perowi lainnya telah berlalu keterangannya. Berdasarkan keterangan dalam buku-buku biografi perowi, Al Laits dan Yazid termasuk ulama yang mengambil hadits dari Al Jalah. Adapun Sa’id bin Salamah dan Al Mughiroh termasuk gurunya Al Jalah sehingga dapat kita katakan bahwa Al Jalah ini mengambil hadits dalam bab ini dari Said bin Salamah dan langsung mengambil juga dari Al Mughiroh dan penegasan bahwa Al Mughiroh adalah gurunya terdapat dalam kitab Jarh wa Ta’dil karya Imam Ibnu Abi Hatim (no. 2288).


B. Al Mughiroh bin Abu Burdah, sebagian ulama mengatakan tegas bahwa beliau tidak majhul seperti Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Talkhisul Khobir (hadits no. 1). Dan berikut adalah fakor-faktor yang menguatkan haditsnya :

1. Sejumlah rowi meriwayatkan darinya, tidak kurang 8 perowi pernah meriwayatkan darinya sebagaimana disebutkan oleh Imam Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal. 8 orang tersebut yaitu : Abu Katsir Al Jalah (shoduq), Al Harits bin Yazid (tsiqoh), Said bin Salamah (tsiqoh), ‘Abdulloh bin Abi Sholih (Hasan haditsnya), Muusa ibnu Al-Atsats Al Balwi (tsiqoh), Yahya bin Sa’id (tsiqoh), Yazid bin Muhammad (tsiqoh) dan Abu Marzuq Habib ibnusy Syahid (tsiqoh). 
Perowi yang keadaannya seperti ini yaitu diriwayatkan oleh sejumlah perowi tsiqoh maka haditsnya statusnya diterima jika tidak ada unsur mungkar dalam hadits tersebut. Faedah ini adalah perkataan Syaikh Albani dalam Muqodimah Tamamul Minnah, demikian nashnya : “memungkinkan untuk menerima riwayatnya (rowi majhul-pent) apabila sejumlah rowi tsiqoh meriwayatkan darinya dan haditsnya tidak nampak indikasi mungkar. Demikianlah yang dipraktekan oleh para hafidz mutaakhirin seperti Ibnu Katsir, Al Iroqi, Al Asqolani dan selain mereka”.
2. Beliau ditsiqohkan oleh Imam Nasa’I dan Imam Ibnu Hibban, Imam Abu Dauwud mengatakan : “Ma’ruf”.
3. Beliau mendapatkan mutaba’ah (penguat) dari :
a. Sa’id ibnul Musayyib, ditakhrij oleh Imam Al Hakim dalam Mustadrok (no. 452) dan Imam Daruquthni dalam Sunannya (no. 85) melalui jalur hadatsana Ishaq bin Ibrohim bin Sahm, hadatsana ‘Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah, hadatsana Ibrohim bin Sa’ad dari Az-Zuhri dari Sa’id ibnul Musayyib dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu.
Biografi Perowi : Ishaq bin Ibrohim bin Sahm (belum penulis temukan biografinya), ‘Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah Al Qudamy berkata Imam Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil (1/226) : “..‘Abdulloh bin Muhammad Al Qudamy keumuman haditsnya adalah tidak Mahfudz (terjaga) dan Ia juga seorang perowi yang dhoif (lihat Ad-Dhoifah Albani no. 496), Ibrohim bin Sa’ad (108-175 H) dinilai oleh Ibnu Hajar tsiqoh, hujjah dan diperbincangkan tapi tidak mempengaruhinya. Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri (w. 125 H) seorang Imam yang sangat terkenal dalam bidang hadits. Sa’id ibnul Musayyib (w. 90 H) seorang Tabi’in besar yang merupakan Imam pada zamannya. Abu Huroiroh seorang sahabat yang sangat masyhur. Kesimpulannya sanad ini lemah dengan sebab kelemahan ‘Abdulloh Al Qudamy, akan tetapi bisa digunakan sebagai penguat terhadap Al Mughiroh, Wallohu ‘Alam.

b. Abu Salamah, haditsnya diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dalam Mustadroknya (no. 453), Imam Daruquthni dalam Sunannya (no. 84) dan Imam Al Uqoily (no. 700) melalui jalur hadatsana Abu Ayyub Sulaiman bin ‘Abdur Rokhman Ad Damsyiqi hadatsana Muhammad bin Ghozwan hadatsana Al-Auza’iy dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Huroiroh.
Biografi Perowi : Sulaiman bin ‘Abdur Rokhman (belum penulis temukan biografinya), Muhammad bin Ghozwan, berkata Imam Ibnu Abi Hatim dalam Jarh wa ta’dil (no. 251) Imam Abu Zur’ah berkata : ..Mungkarul Hadits dan Imam Ibnu Hibban dalam Majruhin (2/299) menilainya tidak halal berhujjah dengannya, ‘Abdur Rokhman bin ‘Amr Al-Auza’iy (w. 157 H) seorang Imam yang pakar dalam hadits dan Sunnah Nabi sholollohu alaihi wa salam, Yahya bin Abi Katsir (w. 132 H) dikatakan Ibnu Hajar tsiqoh tsabat akan tetapi terkadang memursalkan hadits dan seorang mudalis dimasukkan oleh Al Hafidz dalam thobaqoh Mudalisin yang ke-2, Abu Salamah bin ‘Abdurokhman bin ‘Auf (w. 94 atau 104 H) dinilai oleh Al Hafidz tsiqoh banyak haditsnya. kesimpulannya sanad ini sangat lemah sekali karena kelemahan yang sangat pada diri Muhammad bin Ghozwan.

Hadits ini juga memiliki penguat dari syawahid beberapa sahabat yaitu :

1. Amirul Mukminin Abu Bakar Shidiq Rodhiyallohu anhu

Terdapat 2 riwayat dari Sahabat Abu Bakar Shidiq Rodhiyallohu anhu secara marfu dan mauquf, adapaun yang marfu diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dalam sunannya (no. 74) : hadatsana Al Husain bin Ismail dan Muhammad bin Mukhlid keduanya berkata hadatsana ‘Umar bin Syabah Abu Zaid hadatsana Muhammad bin Yahya bin Ali bin ‘Abdul Hamid hadatsani ‘Abdul ‘Aziz bin Abi Tsabit bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Umar bin ‘Abdurrokhman bin ‘Auf dari Ishaq bin Hazim Az-Ziyat bekas budaknya Naufal dari Wahab bin Kaisan dari Jabir bin ‘Abdillah  dari Abu Bakar shidiq  bahwa Rosululloh saw ditanya tentang air laut, Beliau sholollohu alaihi wa salam menjawab :
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Terjemahan : “Ia suci airnya dan halal bangkainya”.
Kedudukan sanad : ‘Umar bin SYabah (173-262 H) dinilai tsiqoh oleh Ibnu Hajar, Muhammad bin Yahya Al Hafidz mengatakan tsiqoh tidak tepat pendhoifan yang dilakukan oleh Sulaimani, ‘Abdul Aziz (w. 197 H) dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Matruk terbakar kitabnya lalu meriwayatkan hadits dari hapalannya sehingga parah kekeliruannya, akan tetapi nasab keturunannya mulia. Ishaq bin Hazim dikatakan oleh Al Hafidz, Shoduq dibicarakan bahwa ia memiliki pemikiran qodariyah. Wahab bin Kaisan (w. 127 H) statusnya tsiqoh menurut Ibnu Hajar. sedangkan Jabir dan Abu Bakar Rodhiyallohu anhums sahabat yang masyhur. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib).
Kesimpulannya sanad hadits ini dhoif disebabkan kedhoifan ‘Abdul Aziz ini.

Adapun riwayat yang Mauquf ditakhrij oleh Imam Ibnu Abi Syaibah (1/154), Imam Baihaqi dalam Sunan qubronya (no. 4208), Imam Daruquthni dalam sunannya (no. 75), Imam Ibnul Mundzir dalam Al Ausath (no. 156) dan Imam Qosim dalam At Thohur (no. 213) semuanya dari jalan ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari ‘Amr bin Dinar dari Abi At-Thofiil Rodhiyallohu anhu bahwa Abu Bakar Rodhiyallohu anhu ditanya tentang air laut kemudian beliau menjawab : “Ia Suci Airnya, Halal bangkainya”.

Kedudukan sanad : ‘Ubaidillah bin ‘Umar (w. >143 H) dinilai oleh Al Hafidz Tsiqoh Tsabat. ‘Amr bin Dinar (w. 126 H) penilain Imam Ibnu Hajar Tsiqoh Tsabat. Abi At-Thofiil (w. 110 H) namanya adalah ‘Amir bin Watsilah seorang Sahabat kecil. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib).
Sanad hadits ini shohih karena rowi-rowinya tsiqoh.

2. Amirul Mukminin ‘Umar ibnul Khotob Rodhiyallohu anhu

Riwayat dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah (1/154) ia bekata, hadatsana Ibnu Ulaiyah dari Ayub dari Abu Yazid Al Madani hadatsani salah seorang Shoyaadiin (nelayan) ia berkata : “ketika ‘Umar Amiril Mukminin berkunjung dan pada saat disuguhkan makanan, lalu saya bertanya, Ya Amirul Mukminin kami berlayar dilautan ini, kami biasanya membawa air untuk persedian minum, sebagian orang mengatakan bahwa air laut tidak bisa digunakan untuk bersuci, lalu beliau (‘Umar) menjawab : “Air mana lagi yang lebih suci darinya”.

Kedudukan sanad : Ibnu Ulaiyah (110-193 H) namanya adalah Ismail bin Ibrohim dinilai oleh Al Hafidz Tsiqoh Hafidz. Ayub bin Abi Tamimah (66-131 H) adalah rowi yang tsiqoh hujjah termasuk pembesarnya Fuqoha yang ahli ibadah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar. Abu Yazid Al Madani dinilai tsiqoh oleh Ibnu Ma’in dan Adz-dzahabi, Abu Hatim mengatakan ditulis haditsnya. Salah seorang nelayan adalah majhul tidak diketahui identitasnya.
Kesimpulannya sanad ini dhoif karena adanya rowi majhul diatas. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib).
Dalam jalan lain yang dikeluarkan oleh Imam Thobroni dalam Mu’jam Ausath (no. 157) dan Imam Qosim dalam At Thohur (no. 216) dari Kholid Al Khidza’a dari ‘Ikrimah bahwa Umar Rodhiyallohu anhu ditanya tentang air laut, beliau menjawab : “Air mana lagi yang lebih suci darinya”.
Kedudukan sanad : Kholid bin Mihron Al Khidza’a dinilai Imam Adz-dzahabi “Al Hafidz, Tsiqoh, Imam”. Ikrimah maula Ibnu Abbas Rodhiyallohu anhuma (w. 104 H) seorang Tabi’I yang masyhur, akan tetapi Ia tidak pernah mendengar dari Umar bin Khotob Rodhiyallohu anhu (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib).. Kesimpulannya sanad ini Dhoif karena munqothi’ (terputus).
Imam Ibnu Abi Syaibah (1/155) menulis melalui sanad : hadatsana Waki’ dari Syu’bah dari Hisyam bin Sa’ad dari Zaid bin Aslam dari ‘Amr bin Sa’ad Al Jary ia berkata : Umar Rodhiyallohu anhu pernah berkunjung ke Al Jar, lalu beliau pernah meminta handuk sambil berkata : “mandilah kalian dari air laut, karena ia berkah”
Kedudukan sanad : Waki’ bin Jaroh (w. 196 atau 197 H) dinilai Al Hafidz, ‘Tsiqoh, hafidz dan abid’. Syu’bah bin Hajaj (w. 160 H) Amirul mukminin fil hadits. Hisyam bin Sa’ad (w. 160 H) dinilai Al Hafidz ‘Shodhuq lahu auham tertuduh syiah’. Zaid bin Aslam (w. 136) dinilai Imam Adz-Dzahabi ‘Al Faqiih’. ‘Amr bin Sa’ad dinilai Al Hafidz, Maqbul artinya ia layyin (lunak) haditsnya dan bisa dijadikan hujjah ketika ada yang menguatkannya. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). Kesimpulannya sanad ini lemah dengan sebab kelemahan Amr bin Sa’ad dan tidak jelasnya ia pernah bertemu dengan Umar bin Khotob Rodhiyallohu anhu

3. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Tholib'

Haditsnya dikeluarkan oleh Imam Daruquthni dalam sunannya (no. 76) dari jalan Muhammad bin Hasan hadatsani Bapakku dari Bapaknya dari kakeknya dari Ali Rodhiyallohu anhu ia berkata : “Rosululloh sholollohu alaihi wa salam ditanya tentang air laut, maka Beliau sholollohu alaihi wa salam menjawab : Ia suci airnya dan halal bangkainya”.
Kemudian riwayat yang sama dikeluarkan oleh Imam Al Hakim dalam Mustadroknya (no. 499) dari jalan Ahmad bin Husain bin Ali hadatsani Bapakku dari Bapaknya dari Kakeknya dari Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu anhu : Al Hadits.
Kedudukan sanad : Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis (1/6) : “Daruquthni dan Al Hakim meriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu anhu melalui jalan Ahlu Bait dengan sanad orang-orang yang tidak dikenal”.

4. Jabir bin ‘Abdulloh Rodhiyallohu anhu

Imam Thobroni dalam Mu’jam Kabir (no. 1738), Imam Daruquthni dalam sunannya (no. 72) dan Imam Al Hakim dalam Mustadroknya (no. 500) meriwayatkan dari jalan Al Husain bin Bisyr hadatsana Al Mu’afa bin Imron dari Ibnu Juraij dari Abi Zubair dari Jabir Rodhiyallohu anhu bahwa Nabi sholollohu alaihi wa salam bersabda tentang air laut : “Ia suci airnya dan halal bangkainya”.
Kedudukan sanad : Al Mu’afa bin Imron ditsiqohkan oleh Imam Ahmad (Al Kamil 2/29 Ibnu Adi melalui irwaul gholil), mendengar dari ibnu Juraij, Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata : ‘Ia permatanya ulama’ (Al Ibar 1/54). Abdul Malik bin Juraij (w. 150 H) dinilai Al Hafidz, ‘Tsiqoh, Faqih, Fadhil mudalis dan sering memursalkan hadits’. Abu Zubair Muhammad bin Muslim bin Tadris (w. 126 H) dinilai Al Hafidz, Shodhuq tetapi ia Mudalis. Jabir bin Abdulloh Rodhiyallohu anhuma (w. > 70 H) Ia dan Bapaknya seorang sahabat besar. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). Kesimpulannya : sanad ini lemah karena ada dua orang mudalis yang meriwayatkan dengan ‘an’anah yaitu Ibnu Juraij dan Abu Zubair, namun dengan adanya penguat yang lain derajatnya naik menjadi Hasan seperti yang dinilai oleh Al Hafidz dalam At Talkhis.

Melalui jalan lain ditakhrij haditsnya oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (no. 15012), Imam Ibnu Majah dalam sunannya (no. 388), Imam Ibnu Hibban dalam shohihnya (no. 1261), Imam Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya (no. 113), Imam Daruquthni dalam sunannya (no. 73), Imam Ibnu Jarud dalam Munthaqonya (no. 879) dan Imam Abu Nu’aim dalam Hilyah (9/229), semuanya melalui jalan Imam Ahmad : hadatsana Abul Qosim bin Abi Zinad ia berkata, akhbaroni Ishaq bin Hazim dari Ubaidillah bin Muqsim dari Jabir Rodhiyallohu anhu bahwa Nabi sholollohu alaihi wa salam bersabda : Al Hadits.

Kedudukan sanad : Abul Qosim bin Abi Zinad Al Madini, ditsiqohkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Hibban, Imam Ibnu Ma’in menilainya ‘Laisa bihi Ba’sun’. Ishaq bin Hazim ditsiqohkan oleh Imam Ahmad, Imam Ibnu Ma’in, Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Syahin, Imam Abu Hatim berkata : ‘Sholihul Hadits’, Imam As-Saji berkata : Shoduq memiliki pemikiran qodariyah. Ubaidillah bin Muqsim dinilai tsiqoh oleh Imam Abu Zur’ah, Imam Nasa’I, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Hibban, Imam Abu Hatim menambahkan : ‘La ba’sa bih’. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). Kesimpulannya : sanad ini shohih, Imam Abu Ali ibnus Sakkan berkata : “Hadits Jabir adalah yang paling shohih yang diriwayatkan dalam bab ini”. (At-Talkhis). Benar apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Sakkan, akan tetapi kemungkinan para ulama memasyhurkan hadits tentang air laut ini dari jalan Abu Huroiroh karena hadits tersebut tersebar hampir di semua kitab hadits dan paling banyak mendapatkan rekomendasi penshohihan dari para ulama, wallohu ‘alam.

5. Abdulloh bin ‘Abbas

Imam Al Hakim dalam Mustadroknya (no. 490) menulis sanadnya : Muhammad bin Ishaq Ash-Shoghoni hadatsana Suraij bin Nu’man hadatsana Hamad bin Salamah dari Abu Tayah dari Musa bin Salamah dari Ibnu Abas Rodhiyallohu anhuma ia berkata, Rosululloh sholollohu alaihi wa salam ditanya tentang air laut, maka Beliau menjawab : “Air laut itu suci”.
Kedudukan sanad : Muhammad bin Ishaq Ash-Shoghoni (w. 270) dinilai Al Hafidz, Tsiqoh dan Tsabat. Suraij bin Nu’man (w. 217 H) dinilai Al Hafidz, Tsiqoh memiliki wahm sedikit. Hamad bin Salamah (w. 167 H) Imam yang masyhur. Abu Tayah Yazid bin Hamid (w. 127 H) dinilai Al Hafidz, Tsiqoh Tsabat. Musa bin Salamah dinilai tsiqoh oleh Imam Abu Zur’ah dan Imam Ibnu Hibban. Ibnu Abas Rodhiyallohu anhuma (w. 68 H) penafsir Al Qur’an, ulamanya Sahabat. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib).
Kesimpulannya : Imam Al Hakim berkata setelah menulis hadits ini : “ini adalah hadits shohih sesuai syarat Muslim namun beliau tidak mengeluarkannya dan memilki syahid yang banyak” kemudian perkataan ini disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi. Berdasarkan kondisi perowinya tidak ragu lagi hadits ini shohih, namun perkataan Imam Al Hakim yang diamini oleh Imam Adz-Dzahabi bahwa ini sesuai syarat Muslim kurang tepat, karena Suraij bin Nu’man Imam Muslim tidak pernah mencatat haditsnya.

Riwayat lain ditulis oleh Imam Ibnu Abi Syaibah (1/155 no. 6) : hadatsana Abdur Rokhim dari Laits dari Ibnu Abas Rodhiyallohu anhuma ia berkata : “Binatang buruan laut halal dan airnya suci”.
Kedudukan sanad : Al-Laits bin Saad bin Abdurrokhman (93 atau 94 H – 175 H) Imam yang masyhur. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib).
Kesimpulannya : sanad ini terputus karena Al-Laits tidak pernah berjumpa dengan Ibnu Abas Rodhiyallohu anhuma.

Riwayat yang mauquf juga ditakhrij oleh Imam Ibnu Abi Syaibah (1/155 no. 5) dari Qotadah dari Sinan bin Salamah bahwa ia bertanya kepada Ibnu Abas tentang air laut, maka jawabnya : “dua laut yang tidak memudhorotkanmu dari mana saja kamu berwudhu, yaitu air laut dan air Furot (sungai Eufrot)”. Dalam Mu’jam Ausath (no. 158) dari Qotadah dan Abu Tayah dari Musa bin Salamah dari Ibnu Abas Rodhiyallohu anhu ia berkata : “Air laut itu suci”.
Kedudukan sanad : Qotadah bin Diamah (60 – >100 H) Imam ahli tafsir yang masyhur, Al Hafidz menilainya Tsiqoh Tsabat. Sinan bin Salamah (dilahirkan pada waktu perang Hunain dan meninggal pada akhir pemerintahan Hajaj) Al Hafidz menyebutnya, pernah melihat Rosululloh sholollohu alaihi wa salam, namun tentang mendengarnya Qotadah dari Sinan bin Salamah maka Imam Ibnu Ma’in menegaskan bahwa Qotadah tidak pernah mendengar dan bertemu dengannya. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib).
Kesimpulannya : Jadi mauquf yang shohih adalah riwayat yang terdapat dalam Mu’jam Ausath.

6. Abdulloh bin Umar Rodhiyallohu anhuma

Dikeluarkan haditsnya oleh Imam Daruquthni dalam Sunannya (no. 4770) dari jalan : hadatsana Al Husain bin Ismail hadatsana Abul Asy’ats hadatsana Al Mu’tamir hadatsana Ibrohim bin Yazid dari Amr bin Dinar dari Abdurrokhman bin Abi Huroiroh bahwa ia bertanya kepada Ibnu Umar Rodhiyallohu anhu yang berkata : “Saya makan binatang yang mengambang di air”, pertanyaanya, yang mengambang itu kan bangkai ? lalu Ibnu Umar Rodhiyallohu anhu menjawab, Nabi sholollohu alaihi wa salam bersabda : Sesungguhnya airnya (laut) suci dan bangkainya halal”.
Kedudukan sanad : Abul Asy’ats Ahmad bin Miqdam (w. 253 H) Imam Abu Dawud mencelanya karena jatuh muruahnya, Abdan Al Ahwazi berkata : saya mendengar Abu Dawud berkata, ‘Saya tidak akan menulis haditsnya Abul Asy’ats, aku berkata, kenapa? Ia menjawab : sebab ia pernah berjumpa dengan pelawak (di Bashroh), adalah pelawak di Basroh mengikat uang dirham dengan tali kemudian membuangnya di jalan dan mereka menunggu di pinggir jalan, jika ada orang Basroh yang lewat akan mengambil uang tersebut maka mereka akan memergokinya (dengan menarik talinya-peny) untuk membuat malu orang tersebut. Abul Asy’ats mengetahui hal tersebut berapa kali ketika di Bashroh, lalu ia berkata : Ayo !! kita ikat botol seperti mereka mengikat (uang dirham)yang mana ketika kalian menjumpai (jebakan) mereka dan akan mengambil uangnya, mereka memergoki kalian. Letakkanlah ikatan botol (tadi) seperti ikatan (jebakan) mereka, jika ada orang akan mengambilnya seperti akan mengambil uang dirham tadi, maka lukukan seperti yang mereka lakukan (dipergoki untuk membuat malu orang yang mengambil barang tersebut). Lanjut Imam Abu Dawud, itulah sebab aku tidak mengambil haditsnya. Sebenarnya Ia adalah Ahli hadits dan Shoduq sebagaimana penilain beberapa ulama, seperti Imam Abu Hatim, Imam Nasa’I dan Imam Ibnu Sa’ad. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). Mu’tamir bin Sulaiman (106 – 187 H) dinilai Imam Adz-Dzahabi, Ia pemimpin dalam ilmu dan ibadah seperti Bapaknya. Ibrohim bin Yazid (w. 151 H) dinilai Imam Ahmad, Matruk. Amr bin Dinar (w. 126 H) seorang Imam yang masyhur. Abdurrokhman bin Abi Huroiroh ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Hibban.
Kesimpulan : sanad hadits ini lemah karena ada rowi matruk yang bernama Ibrohim bin Yazid.

7. Anas bin Malik Rodhiyallohu anhu

Diriwayatkan oleh Imam Daruquthni dalam sunannya (no. 78) dari Anas bin Malik Rodhiyallohu anhu secara marfu seperti lafadz hadits Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu, namun dalam sanadnya ada Aban bin Iyasy yang dikatakan oleh Imam Daruquthni sendiri ‘Matruk’.
Kesimpulannya : Riwayat Anas Rodhiyallohu anhu ini Dhoif.

8. Abdulloh bin ‘Amr ibnul ‘Ash Rodhiyallohu anhu

Imam Al Hakim mengeluarkan haditsnya dalam Mustadrok (no. 501) dari Al Auza’I, sedangkan Imam Qosim dalam At-Thohur (no. 212) dari Al Mutsana bin Sobah keduanya dari Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya bahwa Rosululloh sholollohu alaihi wa salam bersabda : “Bangkainya binatang laut halal dan airnya suci”
Kedudukan sanad : Abdurrokhman bin ‘Amr Al Auza’I (w. 157 H) seorang Imam yang masyhur. Al Mutsana bin Sobah (w. 149) dinilai Al Hafidz, Dhoif berubah hapalannya pada akhir usianya. Rangkaian silsilah Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya (Ibnu Amr’) adalah rangkaian hadits Hasan. (lihat Tahdzibul kamal serta Tahdzibut Tahdzib). Kesimpulannya : sanad hadits ini Hasan dan menjadi shohih dengan penguatnya.

Terdapat juga riwayat mauquf dari Ibnu Amr Rodhiyallohu anhuma yang ditulis oleh Imam Qosim dalam Thohur ( 217) dari jalan Ibnu Luhaiyah dari Bukhoir bin Dzakhir ia berkata, saya mendengar Abdulloh bin Amr’ berkata : “Barangsiapa yang air laut tidak dapat mensucikannya, maka Alloh tidak akan membersihkannya”.
Kedudukan sanad : Abdulloh bin Luhaiyah (w. 174 H) Shoduq mukhtalith setelah terbakar kitabnya, hanya 3 orang Abdulloh yang riwayat dapat diterima dari Ibnu Luhaiyah yaitu Abdulloh bin Mubarok, Abdulloh bin Wahab dan Abdulloh bin Yazid Al Muqri karena mereka meriwayatkan dari Ibnu Luhaiyah sebelum kitabnya terbakar. Disamping Ia mukhtalith juga Mudalis, maka riwayat ‘an’anahnya tidak diterima. Bukhoir bin Dzakhir ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Hibban.
Kesimpulannya : Sanad ini lemah, karena kelemahan Ibnu Luhaiyah.

9. Firosi Rodhiyallohu anhu

Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (no. 387) dan Imam Qosim dalam At-Thohur (no. 212) mengeluarkan haditsnya dari jalan Bakr bin Sawadah dari Muslim bin Makhsy dari Ibnul Firosi ia berkata : “saya berlayar dan saya memiliki wadah air untuk minum, untuk berwudhu saya menggunakan air laut, lalu hal ini saya tanyakan kepada Rosululloh sholollohu alaihi wa salam dan Beliau menjawab, Ia suci airnya dan halal bangkainya”.
Kedudukan sanad : Bakr bin Sawadah (w. >120 H) dinilai oleh Al Hafidz, Tsiqoh Faqiih. Muslim bin Makhsy ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Hibban. Ibnul Firosy ini Imam Tirmidzi berkata : “saya bertanya kepada Muhammad (Bukhori) tentangnya, Ia menjawab, ‘Ini Mursal, Ibnul Firosi tidak pernah berjumpa dengan Nabi sholollohu alaihi wa salam adapun Al Firosi (bapaknya) seorang sahabat”. (At-Talkhis). Dalam kitabnya Al Ilal (9/13) Imam Daruquthni menulis dari Muslim bin Makhsy dari Al Firosi Rodhiyallohu anhu, lalu berkata : “ini mirip kebenaran (shohih)”. Al Hafidz berkata dalam At-Talkhis (1/6) : “Imam Bukhori menyebutkan bahwa Muslim bin Makhsyi tidak pernah berjumpa dengan Al Firosi, Ia hanya meriwayatkan dari anaknya dan anaknya tadi bukan Sahabat (tapi Tabi’I –peny). Akan tetapi dalam kitab Tarikh Kabirnya (no. 3638) Imam Bukhori menulis bahwa Ibnul Firosi mendengar Nabi sholollohu alaihi wa salam. Kesimpulannya : sanad hadits ini Shohih, dengan penguat-penguatnya.

10. Abdun Al ‘Iroki Rodhiyallohu anhu

Imam Abu Nu’aim mentakhrij hadistnya dalam Marifatus shohabat (no. 4284) dan Imam Thohawi dalam Misykalul Atsar (no. 3402) dari jalan Hatim bin Ismail dari Hamid bin Shokhr dari ‘Iyasy bin Abas dari Ubaidillah bin Jarir dari Al ‘Iroki Rodhiyallohu anhu bahwa ia bertanya kepada Rosululloh sholollohu alaihi wa salam tentang air laut Beliau menjawab : “ Ia suci airnya dan halal bangkainya”.

Kedudukan sanad : Hatim bin Ismail (w. 186 atau 187 H) dinilai Al Hafidz, Shoduq punya wahm tapi kitabnya shohih. Hamid bin Shokhr (w. 189 H) dinilai Imam Ahmad, ‘Laisa bihi ba’sun’. ‘Iyasy bin Abas (w. 133 H) dinilai Al Hafidz, Tsiqoh. Ubaidillah bin Jarir ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Hibban. Abdun Al Iroki Rodhiyallohu anhu salah seorang sahabat sebagaimana ditegaskan oleh Imam Abu Hatim dalam Jarh wa ta’dil (no. 214), Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus shohabat (hadits ini) dan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Isobah (2/229) dan ‘Asadul Ghobah (1/1287).

Kesimpulannya : sanad ini lemah karena tidak diketahui apakah Iyash pernah bertemu dengan Ubaidillah, disamping Ubaidillah sendiri tidak ada yang mentautsiqnya selain Imam Ibnu Hibban, akan tetapi kemajhulannya terangkat menjadi majhul hal karena ada dua orang rowi tsiqoh yang meriwayatkan darinya (Abdul Malik bin ‘Umair dan Abu Ishaq Amr bin Abdulloh) dan adanya taustiq dari Imam Ibnu Hibban dapat mengangkat statusnya menjadi Hasanul hadits. Namun dengan melihat penguat-penguat yang lainnya maka hadits ini Hasan sebagaimana yang ditetapkan oleh Imam Thohawi dan Imam Al Haitsami dalam Majmuz zawaidnya (no. 1080).

11. ‘Uqbah bin ‘Amir

Haditsnya ditakhrij oleh Imam Thobroni dalam Mu’jam Ausath (no. 159) dari jalan Ibnu Luhaiyah dari Ja’far bin Robiah dari Abdurrokhman bin Syamasah dari Uqbah bin Amir Rodhiyallohu anhu bahwa ia berkata : “Ia suci airnya dan halal bangkainya”.
Kedudukan sanad : Abdulloh bin Luhaiyah (w. 174 H) telah berlalu keterangannya. Ja’far bin Robi’ah (w. 136 H) dinilai tsiqoh oleh Al Hafidz. Abdurrokhman bin Syamasah (w. 101 H) dinilai tsiqoh oleh Al Hafidz. Uqbah bin Amir (w. 60 H) seorang sahabat mulia.
Kesimpulan : Sanad ini lemah dengan sebab kedhoifan Ibnu Luhaiyah seorang mukhtalith dan mudalis.

Penjelasan Perkata :

  • فِي اَلْبَحْرِ (tentang laut) : ini bukan perkataan Nabi, akan tetapi yang meupakan perkataan beliau adalah هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ .
  • هُوَ (ia) : merupakan kata ganti dari air laut
  • َ اَلطُّهُورُ (suci) : dengan difathah ‘tho’nya secara bahasa artinya suci dan mensucikan (Tahdzibut Lughoh 2/296). Berkata Ibnul Atsir : ‘Thuhur dengan didhomah artinya perbuatan bersuci, sedangkan dengan fathah (Thohur) artinya air yang digunakan untuk bersuci’. (Lisanul Arob 4/504)
  • مَاؤُهُ (airnya) : yaitu air laut, yang dalam susunan bahasa Arab berkedudukan sebagai Fail dari kata Thohur. Sehingga dari susunan ini menujukkan laut itu suci airnya.
  • اَلْحِلُّ (Halal) : dalam sunan Imam Daruqutni (no. 71, 72 & 73) dengan lafadz halal, yaitu lawan dari haram.
  • مَيْتَتُهُ (Bangkainya) : Yaitu bangkai hewan laut, yang dimaksud bangkai disini adalah hewan yang tidak bisa hidup kecuali di laut kemudian mati di laut, bukan hewan lainnya yang kemudian mati di laut secara mutlak. Kata ini dalam susunan bahasa Arab berkedudukan sebagai Fail dari kata Al khillu, yang menunjukkan bahwa bangkai laut itu Halal untuk dikonsumsi.

Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Kesucian Air Laut
Para Ulama semenjak zaman sahabat telah berbeda pendapat tentang penggunaan air laut untuk bersuci sebagai berikut :
1. Tidak bisa digunakan untuk bersuci
Yang terkenal dari kalangan sahabat yang memiliki pandangan seperti ini adalah ‘Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallohu anhu, ‘Abdulloh bin ‘Amr ibnul ‘Ash Rodhiyallohu anhu, serta ada juga yang menukil dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu yang berpendapat seperti ini, akan tetapi sanadnya tidak shohih sebagaimana nanti pembaca akan melihatnya. Sedangkan dari kalangan tabi’in yang berpendapat seperti ini adalah Abul Aliyah, tapi sanadnya juga lemah. kemudian setelahnya dari kalangan 4 madzhab, maka kami belum mendapatkan perkataan yang condong kepada pendapat ini. Wallohu a’lam.
Adapun pendapat (perkataan) ibnu ‘Amr ibnul ‘Ash Rodhiyallohu anhu telah dicatat oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dalam mushonafnya(1/158) : Hadatsana Abu dawud At thoyalisi dari Hisyam dari Qotadah dari Abu Ayub dari ‘Abdulah bin ‘Amr Rodhiyallohu anhu , ia berkata :
ماء البحر لا يجزئ من وضوء ولا جنابة إن تحت البحر نارا ثم ماء ثم نار
“Air laut itu tidak mencukupi (tidak sah) digunakan untuk berwudhu dan tidak juga untuk mandi junub (karena) sesungguhnya dibawah laut ada api, kemudian air, kemudian api”.

Kedudukan Sanad : Para perowinya adalah para perowi yang tsiqoh, perowi Imam Bukhori serta Imam Muslim dalam shohih mereka, kecuali Abu Dawud At Thoyalisi, Imam Bukhori hanya menulis namanya dalam hadits mualaqnya. Maka atsar ini kedudukannya adalah shohih.

Ada sebagian ulama yang membawakan riwayat dari Ibnu Amr Rodhiyallohu anhu yang marfu’ sampai kepada Nabi sholollohu alaihi wa salam, sebagai berikut :
« لاَ يَرْكَبُ الْبَحْرَ إِلاَّ حَاجٌّ أَوْ مُعْتَمِرٌ أَوْ غَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّ تَحْتَ الْبَحْرِ نَارًا وَتَحْتَ النَّارِ بَحْرًا »
“Janganlah mengarungi lautan kecuali untuk berhaji, umroh atau berperang di jalan Alloh, karena dibawah laut ada api dan dibawah api ada laut (lagi)”.

Takhrij Hadits : Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu dawud dalam Sunannya (no. 2489), Imam Al Baihaqi dalam Sunan Kubronya (no. 10862) dan Imam Said bin Manshur dalam Sunannya (no. 2217) dari shahabat ‘Abdulah bin ‘Amr bin ‘Ash secara marfu’, akan tetapi hadits ini dhoif (lemah). Berkata Imam Bukhori : Hadits ini tidak shohih. Imam Alkhotobi juga mengatakan yang senada : mereka (para ulama hadits) mendoifkan hadits ini, dikarenakan dalam sanadnya ada perowi yang majhul sebagaimana dikatakan Imam Abu Dawud (lihat Nailul author 1/130 dan Silsilah ad dhoifah no. 478).

Imam Ibnu Abi Syaibah (1/158) meriwayatkan juga perkataan Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu anhu, dengan sanad sebagai berikut : Hadatsana Waki’ dari Syu’bah dari Qotadah dari ‘Uqbah bin Shohban, ia berkata : saya mendengar Ibnu ‘Umar berkata :
التيمم أحب إلي من الوضوء من ماء البحر
“Tayamum lebih saya sukai daripada berwudhu dengan air laut”.

Kedudukan Sanad : Para perowinya adalah perowi tsiqoh, perowi Imam Bukhori dan Imam Muslim dalam kitab shohih mereka. Sehingga atsar ini statusnya shohih.
Imam Ibnu Abi Syaibah juga memilki riwayat dari seorang Tabi’in besar Abul ‘Aliyah yang menunujukkan bahwa beliau tidak menyukai bersuci dengan air laut ketika sedang berlayar. Berikut sanadnya : Hadatsana Ishaq bin Sulaiman dari Abu Ja’far dari Ar robi’ bin Anas dari Abul ‘Aliyah bahwa (ketika) Beliau mengarungi lautan, kemudian habis perbekalan airnya, maka beliau berwudhu dengan Nabidz dan tidak menyukai berwudhu dengan air laut’.
Kedudukan Sanad : Ishaq bin Sulaiman rowi yang tsiqoh, sedangkan Abu Ja’far dan Ar Robi bin Anas keduanya perowi 4 kitab sunan, Abu Ja’far Shoduq syai’ul hifdhi (jujur tapi jelek hapalannya), sedangkan Ar Robi bin Anas Shoduq lahu auham (jujur dan punya kesalahan). Maka perowi yang keadaannya seperti ini tidaklah diterima haditsnya kecuali jika ada pendukungnya dari jalan yang lain, terlebih lagi riwayat Ar Robi bin Anas dari Abu Ja’far ini banyak iththirob (kegoncangan)nya, sebagaiman dikatakan oleh Imam Ibnu Hibban. Kesimpulannya bahwa atsar ini lemah sampai ke Abul Aliyah.

Adapun riwayat yang dinukil dari Abu Huroiroh bahwa Beliau mengatakan :
ماء ان لا يجزيان من غسل الجنابة ماء البحر وماء الحمام.
“Ada dua air yang tidak sah digunakan untuk mandi janabah, yaitu air laut dan air panas”.

Maka atsar ini lemah hukumnya.
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah dalam mushonafnya (1/158) dengan sanadnya sebagai berikut :
Hadatsana Ibnu Ulaiyah dari Hisyam Al Dustuwai dari Yahya bin Abi Katsir dari seorang laki-laki dari Abu Huroiroh.
Kedudukan sanad : Ibnu Ulaiyah yang bernama asli Ismail bin Ibrohim dan Hisyam Al Dustuwai serta Yahya bin Abi Katsir adalah termasuk perowi Bukhori-Muslim dan mereka semuanya tsiqoh, sehingga kelemahannya ada pada perowi yang majhul yang tidak disebutkan namanya ini, maka atsar ini dihukumi dhoif alias lemah.
Dalam Mushonafnya (no. 318), Imam Abdur Rozaq meriwayatkan juga perkataan yang senada tapi bukan dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu melainkan dari Ibnu Amr Rodhiyallohu anhu dengan sanad sebagai berikut : dari Ma’mar dari Yahya bin Abi Katsir dari seorang laki-laki Anshor dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.
Kedudukan Sanadnya : Ma’mar bin Rosyid perowi Bukhori-Muslim seorang yang tsiqoh, sedangkan kelemahan atsar ini terletak pada rowi Anshor yang Majhul.

2. Dapat digunakan untuk bersuci
Pendapat ini hampir disetujui oleh seluruh ulama, mereka berdalil dengan hadits Abu Huroiroh Rodhiyallohu anhu diatas, dan juga asal dari air yang diciptakan oleh Alloh Subhana wa Ta’ala adalah suci dan mensucikan sebagaimana dalam firmanNya surat Al Furqon ayat 48 :
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rokhmatNya; dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih”.

Kesimpulannya : berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, maka pendapat yang mengatakan air laut tidak dapat digunakan untuk bersuci adalah ijtihad pribadi dari shohabat Ibnu Umar Rodhiyallohu anhu dan Ibnu Amr Rodhiyallohu anhu semata. Tidak ada nash yang jelas dan shohih dari Nabi sholollohu alaihi wa salam tentang tidak bolehnya bersuci dengannya, maka ketika ada nash yang tegas dan shohih dari Nabi sholollohu alaihi wa salam berkenaan dengan sucinya penggunaan air laut sebagaimana dalam hadits Abu Huroiroh yang diterima oleh hampir seluruh ulama, maka tidak ragu lagi benarnya pendapat yang mengatakan bolehnya bersuci dengan air laut. Adapun Ibnu Umar dan Ibnu Amr Rodhiyallohu anhuma dimungkinkan hadits ini belum sampai kepada mereka berdua atau sebab-sebab lainnya yang biasa terjadi di kalangan ahlu fiqih. Dan barangsiapa yang ingin mengetahui faktor penyebab mengapa para ulama berselisih pendapat, dapat merujuk kepada kitab yang ringkas dan jelas tentang ini, buah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rof’ul malam an Aimatil A’lam. Wallohu ‘Alam

Faedah yang dapat diambil dari Hadits ini

  1. Air laut itu suci dan mensucikan, sah digunakan untuk bersuci
  2. Bangkai binatang laut halal untuk dikonsumsi
  3. Bolehnya menjawab pertanyaan dengan menambahkan jawaban lain dari yang ditanyakan ketika ada faedah yang dibutuhkan oleh penanya
  4. Bolehnya mengarungi lautan untuk mendapatkan kemaslahatan tertentu
  5. Ketika mengadakan perjalanan jauh disyariatkan untuk membawa bekal
  6. Hendaknya bagi seseorang ketika akan mengadakan perjalanan jauh untuk mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan safar
  7. Kemudahan syariat Islam didalam bersuci
  8. Para ulama ketika mendapatkan sebuah berita yang shohih dari Nabi sholollohu alaihi wa salam, maka mereka akan menjadikan hal itu sebagai pedoman hidupnya
  9. Terkadang terjadi perselisihan dikalangan ulama, dikarenakan hadits yang shohih belum sampai kepadanya
  10. Keluasan nikmat Alloh Subhana wa Ta’ala yang menjadikan semua yang ada dimuka bumi khususnya lautan sebagai salah satu lahan rezeki bagi hambaNya, oleh karena itu sangatlah tidak pantas orang-orang yang memberikan persembahan kepada yang mereka sebut dewa-dewi penguasa laut yang dikenal di negeri kita perayaan sedekah laut, dikarenakan sangat jelas sekali kesyrikan mereka.
  11. Wajibnya melaksanakan sholat lima waktu dalam keadaan apapun
  12. Bolehnya sholat diatas kapal
  13. Imam Asy Syafi’I berkata : semua air yang Alloh Subhana wa Ta’ala ciptakan baik yang turun dari langit atau pun mata air yang memancar dari bumi dan lautan yang tidak ada pengaruh manusia melainkan sekedar mengambil untuk air minum, atau adanya suatu zat yang bercampur dengan air tersebut dan tidak merubah wana dan tidak pula mempengaruhi rasanya, maka air tersebut Thohur (suci dan mensucikan) (lihat Tahdzibut Lughoh 2/297)
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment