Mekah Pra Kelahiran Muhammad

Mekah Pra Kelahiran Muhammad

Dari sudut pandang keyakinan dan keimanan, menjelang kelahiran Muhammad, masyarakat Mekah sudah jauh dari nilai-nilai yang dianut dan dicontohkan Nabi Ibrahim a.s., nenek moyang mereka. Jika Nabi Ibrahim a.s. menyembah hanya kepada Allah Swt., masyarakat Mekah pada saat itu justru wewujud menjadi kaum pagan, penyembah berhala. Oleh umat Islam pada umumnya, kondisi ini menyebabkan mereka disebut sebagai masyarakat jahiliyah.

Kejahiliyahan masyarakat Mekah bukan karena mereka bodoh dalam arti tidak mampu membaca dan tidak berpendidikan. Menurut Philip K. Hitti dalam The History of the Arabs, kejahiliyahan masyarakat Mekah pada saat itu lebih karena mereka tidak memiliki tuntunan hukum, nabi, dan kitab suci.

Kondisi tidak adanya norma, hukum, dan nabi di tengah-tengah masyarakat Arab pada saat itu telah menyebabkan munculnya konflik di antara mereka. Pada saat itu, mereka mengenal Ayyaamul Arab (hari-hari orang Arab). Menurut Hitti, tradisi ini mengisahkan tentang permusuhan antarsuku yang disebabkan oleh persengketaan dalam soal hewan ternak, padang rumput, dan mata air.


Abdul Muthalib, kakek dari Nabi Muhammad saw. yang memegang otoritas atas Kakbah dan sekaligus Mekah, termasuk dalam jajaran penganut budaya jahiliyah ini. Ia adalah seorang pagan, penyembah berhala. Ia dan masyarakat Mekah pada umumnya menyembah tiga berhala utama: Al Uzza, Al Latt, dan Manat.

Menurut kepercayaan mereka, Al Latt adalah tuhan perempuan. Berhala ini berada di dekat Thaif. Di sana, masyarakat Mekah berkumpul untuk melaksanakan haji dan menyembelih kurban. Pada saat seperti itu, mereka dilarang menebang pohon, mengganggu binatang, dan menumpahkan darah.

Sementara itu, Al Uzza, dianggap oleh mereka sebagai yang paling agung. Berhala ini ada di Nakhlah, sebelah timur Kota Mekah. Ia adalah berhala paling diagung-agungkan oleh masyarakat Mekah.

Adapun Manat, menurut mereka adalah dewa yang menentukan dan menguasai nasib. Lokasinya berbentuk batu hitam di Qudayd, wilayah antara Mekah dan Madinah.

Selain ketiga berhala di atas, masyarakat Arab juga memiliki berhala lain: Hubal. Berhala ini adalah dewa tertinggi di Kakbah dan berbentuk manusia. Di samping berhala ini terdapat busur dan anak panah sebagai media bagi para peramal untuk mengundi nasib.

Dari sudut pandang sosial ekonomi, Mekah pada saat itu termasuk dalam kategori kota modern. Mekah adalah kota perdagangan yang menyebabkan masyarakatnya memiliki pergaulan internasional.

Orang-orang dari Yaman dan Palestina bertemu di tempat ini untuk singgah dalam perjalanan dagangnya, sekaligus melakukan transaksi satu sama lain. Hal ini juga membuka peluang buat masyarakat Arab untuk melakukan hal serupa. Kondisi seperti ini digambarkan Al Quran dengan kalimat rihlatasy syitaa wash shaiif, bahwa kebiasaan masyarakat Quraisy (Mekah) adalah bepergian pada musim dingin dan musim panas (QS Al-Quraisy, 106: 1-2)

Kemajuan Mekah dengan Kakbah sebagai titik pusatnya semakin membuat iri penguasa Yaman. Oleh sebab itu, sejak masa dikuasai suku Quraisy, Mekah berkali-kali mendapat serangan dari penguasa Yaman. Dalam Misteri Kakbah, Fathi Fawzi Abdul Mu’thi mengisahkan bahwa penyerangan terhadap Kota Mekah oleh kaum Tubba dari Yaman dilakukan berkali-kali. Bahkan hal ini dilakukan secara turun temurun oleh kaum Tubba. Dari seluruh penyerangan yang dilakukan mereka, tidak satu pun yang berhasil melumpuhkan Kota Mekah.

Menjelang kelahiran Muhammad, penguasa Yaman bernama Abrahah, kembali berniat menyerang Kota Mekah. Ia adalah seorang Kristen yang saat itu menguasai wilayah Himyariyah juga. Alasan Abrahah menyerang Mekah sama seperti kaum Tubba, yakni keberadaan Kakbah yang menjadi magnet bagi banyak sekali manusia untuk mendatanginya. Padahal, pada saat yang sama, ia telah menbangun gereja megah di Yaman bernama Al Qulays. Ia menghiasi gerejanya dengan perhiasan, marmer, dan intan yang ia ambil dari istana ratu Sheba. Ia melakukan itu agar ketertarikan manusia terhadap Kakbah yang bentuk dan bangunannya hanya bangunan batu biasa berpindah ke gereja megah yang dibangunnya. Harapannya, jika itu terjadi, ia mendapatkan keuntungan harta dari para peziarah yang datang ke gerejanya.

Ternyata, hal tersebut tidak terjadi. Banyak sekali manusia yang tetap berziarah mendatangi Kakbah di Mekah tanpa memedulikan gerejanya. Oleh karena itu, ia kemudian memutuskan untuk melakukan penghancuran Kakbah.

Kronologis penyerangan Abrahah terhadap Kota Mekah dituturkan Fathi Fawzi Abdul Mu’thi dengan sangat menarik.

Abrahah menghimpun bala tentaranya. Ia mengendarai gajah besar dan bergerak menuju Mekah. Mereka melewati kota, bukit, dan dataran tinggi. Beberapa orang Yaman yang tidak menyukai rencananya, seperti Nufayl bin Habib, berusaha menghalangi dan melawan pasukan Abrahah. Akan tetapi, mereka dikalahkan. Bahkan, Nufayl sendiri kemudia ditawan.

Setelah beberapa hari perjalanan, pasukan Abrahah tiba di Thaif. Mereka menudukkan para pemimpin kota itu. Masyarakat Thaif pun menawarkan hadian dan emas untuk membujuk pasukan Abrahah agar tidak menghancurkan berhala mereka, Al Latt. Bahkan, seorang penduduknya, Abu Righal, bersedia menjadi penujuk jalan menuju Mekah.

Abrahah meneruskan perjalanannya ke Mekah. Ia berhenti di luar batas kota itu, mengamatinya, dan membayangkan Baitullah di tengah-tengahnya. Ia merasa terhormat sekaligus penuh harap. Ia juga ingat para pendahulunya yang pernah datang untuk melakukan penyerangan ke kota ini.

Penduduk Mekah mendapatkan informasi tentang kedatangan Abrahah dan pasukannya serta perbuatan-perbuatan mereka terhadap suku-suku yang menentangnya. Para pemimpin Mekah seperti Abdul Muthalib; Ya’mur bin Nufayah, pemimpin Bani Bakr; Khuwailid bin Na’il, pemimpin Bani Khudzayl; dan lain-lain bertemu di Daarun Nadwa. Mereka membahas masalah penyerangan Abrahah ke kota mereka. Sebagian mengusulkan untuk mempertahankan Baitullah dan melawan musuh, tidak hanya menjadi penonton yang terhina dan dihancurkan. Namun, sebagian lainnya menyarankan agar mereka menawarkan uang dan haadiah sebagai tebusan atas penghinaan salah seorang masyarakat Arab kepada gerejanya. Mereka berharap dapat menyelamatkan Kakbah dengan cara itu.

Ketika pertemuan berlangsung, Hunatah Al Himyari, seorang utusan Abrahah, mendatangi Abdul Muthalib dan berkata sebagai berikut.

“Hai pemimpin Mekah, raja kami, Abrahah, mengutusku untuk mengabarkan bahwa ia datang bukan untuk berperang. Ia datang untuk menghancurkan Kakbah. Jadi, jika kalian memutuskan untuk tidak berperang, kalian boleh menjaga harta benda kalian dan menghindari pertumpahan darah.”

Abdul Muthalib kemudian berkata, “Itulah yang kami inginkan. Kami menentang peperangan.”

Hunatah berkata, “Jadi, jangan halangi ia untuk menghancurkan Kakbah!”

Masyarakat Mekah berselisih panjang lebar mengenai apa yang semestinya mereka lakukan. Dalam kebimbangan seperti itu, Abdul Muthalib berkata, “Demi Allah, kita tidak akan berperang melawan mereka. Ini adalah Rumah Allah, yang dibangun oleh kekasih-Nya, Ibrahim. Kita hanyalah pemelihara Kakbah yang mencoba menolong orang-orang yang lapar dan mendapatkan rasa aman. Jadi, lebih baik kita hindari pertumpahan darah.”

Hunatah kembali berkata, “Sebaiknya engkau datang bersamaku menemui Raja Abrahah untuk meyakinkannya bahwa engkau ingin berdamai.”

Abdul Muthalib dan beberapa tokoh Mekah setuju. Mereka berangkat menemui Abrahah yang berkemah di dekat Mekah.

Sebelumnya, ketika mendekati Mekah, Abrahah mengutus seorang Abisinia bernama Al Aswad bin Maqsud bersama beberapa tentara untuk merampas beberapa kafilah milik orang Quraisy dan suku-suku lain. Mereka merampas sejumlah unta dan domba, termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muthalib. Mereka juga menawan pria dan wanita suku Quraisy.

Abdul Muthalib dan pengiringnya memasuki tenda Abrahah yang berdiri menyambut mereka, setelah tahu bahwa mereka datang dengan damai, kemudian berkata, “Hai pemimpin Mekah, aku datang bukan untuk berperang, melainkan untuk menghancurkan Kakbah. Jika engkau tidak menghalangiku, aku tidak akan memerangimu.”

Abdul Muthalib berkata, “Kami tidak memiliki kekuatan untuk melawanmu dan kami tidak ingin berperang denganmu. Jadi, kami tidak akan menghalangimu. Kakbah adalah Rumah Allah. Dialah yang akan mempertahankannya.”

Abdul Muthalib terdiam beberapa saat dan kemudian melanjutkan ucapannya. “Pasukanmu merampas unta dan domba milik kaumku, termasuk 200 ekor unta milikku. Jadi, perintahkan saja mereka untuk mengembalikan harta yang mereka rampas.”

Abrahah terkejut dan berkata, “Engkau meminta 200 unta yang aku rampas dan menghiraukan rumah yang menjadi symbol agamamu dan agama nenek moyangmu yang hendak kuhancurkan?”

Dengan penuh keyakinan, Abdul Muthalib berkata, “Aku adalah pemilik unta-unta itu. Sementara Rumah Allah itu akan dilindungi oleh pemiliknya.”

Ketika Abdul Muthalib daan pengiringnya pergi, kata-katanya masih terngiang jelas di telinga Abrahah, “Rumah itu akan dilindungi oleh pemiliknya.”

Abrahah hamper saja membatalkan rencananya. Namun, kesombongan dan harapan besar memaksanya untuk meneruskan rencana. Setan menggerakkannya dan ia segera menggerakkan tentaranya menuju Kakbah.

Banyak penduduk Mekah yang lari meninggalkan rumah mereka. Mereka berlindung di bukit-bukit dan lembah sekitar Mekah karena takut dianiaya Abrahah dan pasukannya. Namun, Abdul Muthalib dan beberapa orang lainnya tetap tinggal di Mekah. Mereka berdoa kepada Tuhan Kakbah menjaga Rumah-Nya dan mengalahkan musuh mereka. Abdul Muthalib bersenandung sebagai berikut.

Tuhanku, aku tidak memohon kepada selain-Mu.
Pelihara dan lindungilah Rumah Suci-Mu ini.
Musuh rumah-Mu adalah musuh-Mu yang nyata.
Karenanya, lenyapkanlah kezaliman mereka.

Ketika Abrahah mendekati Kakbah dan berusaha memasukinya, gajah yang ia tunggangi tiba-tiba berhenti seakan-akan terpaku di atas tanah. Berkali-kali ia memaksanya untuk bergerak, tetapi upayanya selalu gagal. Anehnya, ketika dibalikkan arahnya ke Yaman, ke utara dan selatan, gajah itu berlari seakan hendak bertemu pasangannya. Ketika dipaksa lagi menuju Kakbah, gajah itu justru berlutut ke tanah.

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba awan hitam menutupi seluruh tempat tersebut. Abrahah dan pasukannya berpikir bahwa itu adalah awan pembawa hujan. Akan tetapi, langit ternyata berubah pula menjadi gelap pekat seakan-akan malam telah tiba. Sekawanan burung tiba-tiba juga muncul membawa batu dari tanah liat yang panas terbakar pada paruh dan cakarnya. Burung-burung itu menghujani Abrahah dan pasukannya dengan batu-batu tersebut hingga mampu menembus kepala hingga jari kaki mereka. Siapa pun yang terkena batu itu tidak ada yang selamat. Mereka hancur bergelimpangan di atas tanah Mekah bagaikan pohon kurma yang mongering dan tumbang. Sebagi pasukan itu mencoba melarikan diri. Akan tetapi, mereka tidak bisa bergerak atau mundur. Semua jalan tertutup. Mereka mati kehausan, ketakutan, dan penuh rasa sakit.

Abrahah dan beberapa pemimpin pasukannya menyaksikan dari dekat apa yang terjadi atas pasukan mereka. Ia hamper menemui ajal ketika sebuah batu mengenainya. Akan ttapi, Allah membiarkannya tetap hidup supaya bisa merasakan penderitaannya dan akan mengingat perbuatan jahatnya. Itu semua merupakan peringatan bagi orang-orang yang berniat jahat untuk menghancurkan Rumah-Nya.

Masyarakat Mekah bersuka cita atas kejadian tersebut. Mereka merasa tersanjung karena Tuhan mengistimewakan mereka dibanding bangsa Arab lainnya.

Abdul Muthalib pun sangat gembira karena Allah telah menjaga Rumah-Nya dan mengembalikan kepadanya semua yang telah dirampas Abrahah dan pasukannya. Kedamaian menyelimuti Mekah dan jumlah peziarah yang berkunjung ke Mekah terus bertambah dari waktu ke waktu.

Abdul Muthalib menerawang menerima kenyataan itu dan mengingat kembali kejadian-kejadian masa lalu yang pernah dialaminya, termasuk mimpi-mimpinya. Saat mengingat Abdullah, anaknya yang telah meninggal, ia pun tiba-tiba teringat Aminah, menantunya. Pada saat bersamaan, Barakah, pembantu Aminah, mendatanginya dan memberikan informasi yang luar biasa menggembirakan. “Tuanku, nyonya telah melahirkan seorang bayi berwajah cerah.”

Penuh dengan linangan air mata kegembiraan, Abdul Muthalib bergegas menuju rumah Aminah. Ia langsung menggendong bayi suci itu dan kemudian berkata, “Aku telah menamainya Muhammad. Satu suara gaib menyuruhku memberinya nama itu.”
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment