Penegakan syariat Islam di Aceh kerap berujung aksi kekerasan

Penegakan syariat Islam di Aceh kerap berujung aksi kekerasan

Sejumlah LSM di Aceh menyoroti Pemerintah Aceh dalam menjalankan syariat Islam sesuai dengan Qanun 11 Tahun 2002, serta Qanun 12, 13, dan 14 tahun 2003 tentang syariat Islam. Penerapan syariat kerap berujung kekerasan dalam implementasinya. Sehingga ini butuh perhatian khusus dari pemerintah agar bisa terhindar dari tindak kekerasan tersebut yang telah nyata melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
para pemuda yang sok agamis pembela islam dengan melanggar aturan
Beberapa LSM yang menyoroti kebijakan pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS), Balai Syura Ureung Inoeng Aceh, dan Forum Islam Rahmatan Lil'alamin (FIRL). Mereka mengkritisi pemerintah agar sudah saatnya penerapan syariat Islam di Aceh harus bisa berjalan dengan baik tanpa ada tindak kekerasan yang terjadi di luar hukum yang telah diatur.


"Pemerintah dan juga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) serta Kepolisian Aceh tidak pantas lepas tangan dari tindak kekerasan yang mengatasnamakan penegakan syariat Islam di Aceh," tegas Koordinator Kontras Aceh, Destika Gilang Lestari, Minggu (12/1) dalam konferensi pers di Banda Aceh.

Menurut dia, selama ini sudah menjadi rahasia umum kekerasan terjadi di Aceh dilakukan oleh organisasi masyarakat, kelompok warga, dan aparatur gampong terhadap orang yang diduga melakukan pelanggaran syariat.

"Hasil pantauan sepanjang 2013, KontraS Aceh mencatat ada lima kasus kekerasan dalam implementasi Qanun Penerapan Syariat Islam terjadi di Aceh," tegasnya.

Gilang mencontohkan, kejadian yang menimpa Zr (18) pada 21 Desember 2013 di Aceh Utara yang dilakukan oleh kepala desa Seneubok Rambong, Fauzan. Korban Zr diduga khalwat dan menggunakan celana ketat. Lantas, oknum kepala desa itu dengan sengaja celana Zr dibelah menggunakan pisau tajam sehingga melukai pahanya. Akibatnya Zr harus dioperasi di Rumah Sakit Idi Rayeuk, Aceh Timur akibat lukanya.

"Kekerasan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat, kelompok warga, dan aparatur gampong, selama ini tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian, harusnya ini ranahnya polisi harus bertindak," imbuhnya.

Kontras Aceh bukan tidak pernah mengingatkan Polda Aceh agar bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan syariat Islam. Gilang mengaku, akhir tahun 2012 sudah pernah mengingatkan Kapolda Aceh agar bisa bertindak untuk mencegah dan memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan.

"Jadi, pembiaran siklus kekerasan seperti ini, mengakibatkan pengulangan tindakan serupa,otomatis penegakan hukum menjadi lemah," tukasnya.

Lantas yang terjadi kemudian, kata Gilang, sejumlah elemen di Aceh terlihat bertindak sporadis dan tidak terkoneksi dengan baik dalam bentuk kesamaan pandangan dan tindakan dalam penerapan syariat Islam.

Oleh karenanya, Gilang mengatakan sudah seharusnya para pemangku kepentingan sudah memiliki konsep yang jelas guna membendung efek buruk dari upaya penegakan qanun-qanun tersebut. Pemangku kepentingan tersebut harus menginstruksikan kepada seluruh elemen atau lapisan masyarakat agar bertindak tidak melawan hukum, karena dapat menghancurkan Syariat Islam yang rahmatan lil alamin di mata publik.

Lanjutnya, kasus Zr, menjadi cerminan praktik kekerasan yang terjadi dan bertentangan dengan mandat konstitusi yang menjamin hak warga negara untuk bebas dari tindak kekerasan. Sesuai pasal 28 UUD 45 dan Syariat Islam.

"Pemerintah Aceh, lembaga-lembaga keulamaan harus segera mengambil langkah-langkah tegas yang mendidik, untuk menghentikan kekerasan-kekerasan atas nama syariat Islam," pungkasnya. sumber: Merdeka.com
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment