Gaya “Bercinta” Ala Santri

Gaya “Bercinta” Ala Santri

Sebut saja namanya Lalaki. Senior di “Forum Diskusi Bambu Runcing”. Malam minggu kemarin, ia menyempatkan hadir sekaligus “curhat” kisah cintanya yang kandas di tangan pengurus saat mondok di salah satu pesantren terkenal di daerah Tasikmalaya.

Mengenal sosok wanita dan berpacaran dengannya merupakan pengalaman tersendiri, yang menjadi “bumbu” penyedap di tengah kepenatan aktivitas mengaji di pondok. Sayang, meski cinta “Lalaki” tak bertepuk sebelah tangan, ia harus merelakan “tali” kasihnya dipotong pengurus, sekaligus merelakan helai demi helai rambutnya yang gondrong sebahu.

Memang, selama saya berada di pondok merasakan hal yang sama. Sebagai makhluk berjenis kelamin pria, tentu saya mempunyai rasa ketertarikan terhadap lawan jenis. Namun, sebagai santri, saya harus mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan oleh pondok pesantren yang saya berdiam di dalamnya.

Selama ini, kesempatan bertemu “makhluk” bernama wanita di lingkungan pondok sangat terbatas. Beruntunglah saya bukan santri pondok biasa, melainkan dibarengi dengan sekolah. Dengan demikian, kesempatan saya untuk mencuci “libido” saya lebih leluasa dibandingkan santri yang berstatus mondok permanen.

Selain di sekolah, jangan harap santri pria dapat bertemu dengan santri wanita, seperti yang sering digambarkan di sinetron-sinetron picisan mengenai kehidupan pesantren. Tempat mengaji yang terpisah dan tempat beribadah yang terpisah pula menjadi “tembok” tebal untuk menikmati keindahan ciptaan Tuhan bernama wanita.

Di saat rasa rindu dan kebutuhan akan romantisme ala anak muda menyeruak, memenuhi setiap jengkal relung sanubari, kami hanya bisa menatap nanar kobong (tempat mondok) para santri wanita yang terletak di atas rumah Kiai dan persis di sebelah Masjid Pria.

Hampir setiap malam, bagi santri-santri “pemuja”, menatap ke atas rumah Kiai sembari menggoreskan luapan cintanya di atas selembar kertas putih. Esoknya, kertas itu dititipkan kepada santri yang -kebetulan- bersekolah. Persis seperti menitip surat kepada pak pos. Bedanya surat yang ini tanpa perangko dan -biasanya- memakai embel-embel, “Mohon dirobek atau dibakar setelah membaca”.

Bukan kenapa, melainkan bahaya besar dan termasuk siaga satu bila surat itu jatuh ke tangan pengurus pondok yang telah ditetapkan secara musyawarah. Hukuman telah menanti. Dari disuruh menalar kitab, dibotaki, hingga dipanggil kedua orang tuanya. Jadi wajar surat itu memakai embel-embel tersebut di paragraf terakhir, dengan kata-kata NB: yang besar.

Dengan menyimak kisah di atas, wajar saja jika santri jaman dahulu sering dijodohkan oleh kiai-nya sendiri. Atau kalau tidak mereka biasanya telat untuk menikah. Tapi itu juga tergantung individu masing-masing. Namun, di pesantren saya, santri yang menetap (non sekolah) biasanya memang berstatus “bujang lapuk” dibandingkan dengan santri yang bersekolah.

Bagaimana dengan saya?
Saya, sebagai pria, jelas merasakan dorongan “libido” yang sama. 
Namun, mengingat besarnya harapan orang tua kepada saya, saya harus menempatkan kepercayaan orang tua dengan semestinya. Untuk saat ini, sebagai pelipur lara di kala malam, cukup-lah buku-buku yang menemani segala kegalauan hati yang saya alami.

Walhasil, “bercinta” di Pesantren itu bak peribahasa “Ngeri-ngeri sedap”!.

1 comment: