MUI Ingatkan Dampak Negatif Kaji Baha’i untuk Jadi Agama di Indonesia

MUI Ingatkan Dampak Negatif Kaji Baha’i untuk Jadi Agama di Indonesia

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan potensi negatif atas langkah Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, yang berniat melakukan kajian terhadap aliran Baha’i.

“Sebagai sebuah sistem sosial, aliran, keyakinan (kajian) bisa produktif. Tapi bisa negatif kalau ini dipaksakan untuk melahirkan sebuah agama tertentu,” kata Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan, di kantornya, Jakarta, Jumat (25/7), seperti dikutip Vivanews.

Amir menilai, ketika Baha’i diakui sebagai sebuah agama maka membawa implikasi luas baik secara sosial apalagi politik. Karena itu, pemerintah bertanggung jawab dalam melihat persoalan tersebut lebih komprehensif.


“Jangan sampai ada aspek melakukan politisasi terhadap hal tersebut,” ujarnya.

Amir mengungkapkan, MUI di daerah sudah pernah melakukan kajian terhadap Baha’i. Salah satu hasil yang ditemukan, pemeluknya banyak di wilayah timur Indonesia, yakni Sulawesi.

“Saya kira, ini merupakan salah satu rekomendasi kita untuk dilakukan kajian, terutama oleh Litbang Kemenag. Itu tugas Kemenag termasuk mengkaji sejarah masuknya mereka ke Indonesia,” jelasnya.

Amir menambahkan, dalam komunitas Baha’i diduga banyak yang Muslim. Terhadap mereka, dia mengajak untuk kembali ke jalan yang benar.

“Karena dalam Islam sudah jelas sistem ajarannya, kenapa buat ajaran baru,” katanya.

Sejarah Baha’i

Aliran Baha’i seperti dirangkum dari berbagai sumber, muncul di Iran pada abad 19, tepatnya tahun 1863. Pendirinya Baha’u'llah wafat pada tahun 1892 di Bahji. Aliran yang dibawa Baha’u'llah ini terus berkembang hingga penganutnya mencapai enam juta orang di awal abad 21. Para penganut aliran ini tersebar di 237 negara di dunia.

Dalam ajaran Baha’i, seperti dikutip dari Wikipedia, agama dipandang sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan, yang disebut para “Perwujudan Tuhan”. Baha’u’llah dianggap sebagai Perwujudan Tuhan yang terbaru. Dia mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah dijanjikan bagi semua umat dan yang dinubuatkan dalam agama Kristen, Islam, Buddha, dan agama-agama lainnya.

Baha’i masuk ke Indonesia sejak sekitar tahun 1878, dibawa oleh dua orang pedagang dari Persia dan Turki, yaitu Jamal Effendi dan Mustafa Rumi. Dalam website resmi Baha’i di Indonesia, dijelaskan, Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal, bukan sekte dari agama lain. Namun berapa jumlah pemeluk Baha’i di Indonesia hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti.

Sebagai catatan, tahun 2009 lalu, ratusan penganut aliran ini sempat membuat heboh warga Tulungagung. Warga menolak keberadaan mereka karena ritualnya dianggap menyesatkan. Para penganut ajaran ini meyakini kitab suci mereka adalah Akhdas.

Sedangkan “shalat”nya berkiblat ke Gunung Karmel atau Karamel di ‘Israel’. Mereka “shalat” sehari sekali, dan berpuasa hanya 17 hari. Beberapa penganut aliran ini juga tercatat di Kota Samarinda, Kalimantan Timur

Bahaya Baha’i Dijadikan Agama Baru, Picu Aliran Sesat Lainnya Tuntut Hal yang Sama

Peneliti Aliran Sesat Ustadz Hartono Ahmad Jaiz menilai bahwa penetapan Baha’i sebagai agama baru dapat memicu ratusan aliran sesat lainnya menuntut hal serupa untuk disahkan sebagai agama baru.

“Baha’i itu masih ada kaitan dengan Islam, mengambil-ambil ajaran Islam, meski mencampur-adukkan beberapa agama, semestinya tidak disahkan sebagai agama baru. Nanti, aliran sesat yang mengambil ajaran Islam ke dalam alirannya juga menuntut disahkan sebagai agama baru, seperti Lia Eden,” katanya seperti dikutip kiblat.net, Jumat (25/7).

Meski dijadikan agama baru, Kata Hartono, eksistensi Baha’i masih dipandang melecehkan Islam.

“Itukan masih ada campuran-campuran Islamnya, umat Islam harusnya menolak Baha’i dijadikan agama baru, apalagi dulu pernah dilarang,” ucapnya.

Baha’iyah atau baha’isme sendiri merupakan ajaran yang menyatukan berbagai macam agama. Di antaranya, agama Yahudi, Nasrani, Islam dan lainnya menjadi satu. Hingga aliran ini jelas-jelas dinyatakan sebagai non-Islam.

Di Era Sokarno Aliran Baha’i Dilarang

Persoalan aliran sesat Baha’i bukan hal yang baru di Indonesia. Ajaran Baha’i bahkan pernah dilarang di masa Orde Lama berkuasa.

“Baha’i dulu pernah dilarang di zaman Soekarno, justru aneh sekarang dijadikan agama baru,” kata Peneliti Aliran sesat, Ustadz Hartono Ahmad Jaiz kepada kiblat.net di Jakarta, Jumat (25/7).

Menurut Hartono, pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid aliran Baha’i memang sempat diperbolehkan. Namun, hal itu mendapat tentangan keras dari elemen umat Islam tempat Gusdur berasal.

“Ketika Gusdur mencabut larangan terhadap Baha’i, justru NU mendemo Baha’i di Bandung,” tuturnya.

Hartono menilai (kemungkinan) penetapan Baha’i sebagai agama baru tidak menyelesaikan masalah kerukunan antar umat beragama. Tapi, justru menambah permasalahan di tengah umat beragama.

“Di dalam konsitusi, negara harus melindungi agama-agama yang diakui di Indonesia. Kalau tidak melindungi keberlangsungan agama-agama yang sudah diakui, peraturan itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Agama harus dilindungi dari direcoki penyakit, sedangkan penyakit yang merecoki agama itu aliran sesat,” jelasnya.

Secara hirarki hukum, kata Hartono, apa saja peraturan yang bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya, otomatis status peraturan itu batal secara hukum. Apalagi, pengesahan aliran sesat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

“Jadi, umat Islam menolak juga dari segi itu (hukum),” ujarnya.

Baha’iyah atau baha’isme sendiri merupakan ajaran yang menyatukan berbagai macam agama. Di antaranya, agama Yahudi, Nasrani, Islam dan lainnya menjadi satu. Hingga aliran ini jelas-jelas dinyatakan sebagai non-Islam. sumber
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment