Historisasi Makam Kosong Yesus
Kesimpulan bahwa kebangkitan Yesus dari kematian seperti yang dikatakan Injil adalah sebuah metafora belaka, yang didasarkan pada temuan makam dengan tulang-belulang di Talpiot yang diduga adalah Yesus yang dipercaya umat Kristiani, terlalu dini. Sebuah metafora yang bergerak hanya dalam ranah subyektif, bukan obyektif.
Pilihannya antara prinsip "yang ajaib pasti tidak historis" atau "yang ajaib bisa sungguh historis".
Kontroversi belakangan ini tentang makam keluarga Yesus dan kepastian kebangkitan-Nya dengan seluruh tubuh perlu ditempatkan dalam gambar besar penelitian kisah- kisah ajaib di dalam Alkitab. Usaha untuk menjelaskan secara ilmiah hal-hal ajaib yang dikisahkan dalam Alkitab bukanlah hal baru. Hal ini sudah banyak dilakukan, baik terhadap Perjanjian Lama (misalnya, sepuluh tulah atau kutuk yang menimpa bangsa Mesir sebelum orang Israel akhirnya pergi meninggalkan Mesir) maupun Perjanjian Baru (misalnya, Yesus yang berjalan di atas air atau Yesus yang meredakan badai ganas di danau). Usaha ini memperlihatkan sikap tertentu terhadap kisah ajaib dalam Alkitab dalam kaitan dengan dimensi historis kejadian-kejadian itu.
Kesejarahan mukjizat
Di balik usaha-usaha ini terdapat sebuah prinsip yang menempatkan hal-hal ajaib dan penjelasan ilmiah sebagai dua kubu yang saling bertentangan. Tujuan penelitian ilmiah ini adalah memperlihatkan bahwa apa yang diceritakan dalam Alkitab sebagai sebuah peristiwa ajaib karena campur tangan langsung dari Sang Ilahi pada dasarnya adalah peristiwa-peristiwa alam biasa yang bisa dibuktikan berdasarkan pendekatan-pendekatan ilmu alam. Maka, usaha ini membawa bendera yang mengatakan: "Untuk segala mukjizat, pasti bisa ditemukan penjelasan ilmiahnya."
Berjalan seiring dengan usaha ini, pertanyaan tentang historisitas peristiwa dalam Alkitab pun menjadi bagian dari penyelidikan para ahli. Pendekatan ilmiah membuktikan bahwa peristiwa yang dikisahkan dalam Alkitab sendiri secara historis bisa saja terjadi. Seiring dengan pembuktian historis ini, konsekuensinya, kemungkinan adanya intervensi langsung dari Sang Ilahi disingkirkan. Peran Sang Ilahi harus tunduk pada peran sains.
Pembuktian ilmiah mengatakan bahwa peran Sang Ilahi tidaklah sedemikian dahsyat seperti dikisahkan dalam Alkitab. Alam memiliki hukumnya sendiri. Mukjizat bukanlah intervensi dari Sang Ilahi, melainkan hasil yang sangat masuk akal dari proses alami. Film berjudul Reaping yang sedang diputar di bioskop-bioskop di Jakarta, misalnya, mencoba menceritakan pergulatan seorang ilmuwati bukan dalam menerima historisitas kisah-kisah Alkitab, melainkan dalam menerima intervensi langsung Sang Ilahi di dalamnya.
Pada kenyataannya dalam Alkitab banyak kisah ajaib yang tidak berhubungan dengan gejala alam. Dalam Perjanjian Baru dikisahkan banyak penyembuhan fisik yang dilakukan baik oleh Yesus maupun oleh para murid-Nya yang menerima dan menggunakan kuasa dalam Nama-Nya yang kudus. Penelitian ilmiah atas kisah-kisah ajaib dalam ranah penyembuhan fisik semacam ini tentu tidak bisa begitu saja membuktikan bahwa semua itu adalah proses biologis atau ragawi belaka.
Dalam konteks semacam ini pertanyaan tentang historisitas kisah-kisah ajaib menjadi semakin tajam.
Apakah penyembuhan ajaib seperti yang dikisahkan dalam Alkitab itu benar terjadi secara historis?
Dengan demikian, yang disingkirkan tidak hanya kemungkinan intervensi dari Sang Ilahi (sebagaimana halnya dalam penjelasan ilmiah atas keajaiban yang berkaitan dengan gejala alam), melainkan juga kejadian itu sendiri.
Bila tidak bisa ditemukan penjelasan ilmiah bagi penyembuhan ajaib itu, haruskah disimpulkan bahwa kisah semacam itu tidak pernah sungguh terjadi secara historis?
Fakta yang sering terjadi secara kasat mata di hadapan orang modern justru mengatakan lain. Ada banyak orang yang menurut ilmu kedokteran menderita penyakit yang tidak tersembuhkan justru mengalami kesembuhan. Tidak sedikit dokter yang akhirnya harus mengatakan bahwa penyembuhan itu memang tak bisa dijelaskan secara logis berdasarkan pendekatan ilmiah. Pertanyaan lebih jauh harus dijawab.
Bila penyembuhan terjadi di luar jangkauan penjelasan medis, siapkah seseorang menerimanya sebagai sebuah keajaiban atau mukjizat?
Di satu pihak, penyembuhan itu begitu kasat mata dan secara empiris bisa dibuktikan. Di lain pihak, tidak bisa dibuktikan secara jelas apa atau siapa yang menyembuhkan orang yang bersangkutan.
Di sinilah orang akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan empiris bahwa keajaiban bisa sungguh bersifat historis. Artinya, "yang ajaib" bisa sungguh terjadi secara historis dalam ruang dan waktu di mana manusia ini hidup dan bergerak. Mukjizat yang berada di luar jangkauan akal budi manusia bisa benar-benar terjadi secara historis. Keajaiban adalah sebuah peristiwa sejarah juga. Craig A Evans, Fabricating Jesus (2005), bahkan mengatakan bahwa satu kesalahan serius dari banyak kesalahan lain adalah "kegagalan untuk memperhitungkan perbuatan ajaib Yesus". Sungguh disayangkan bahwa banyak ahli yang meneliti keajaiban yang berkaitan dengan tokoh Yesus dalam Alkitab justru berangkat dengan sebuah asumsi bahwa "yang ajaib pasti tidak historis".
Proses demirakulisasi
Akibat logis dari asumsi semacam ini adalah sebuah proses yang saya sebut sebagai demirakulisasi (Latin miraculum; Inggris miracle) Yesus. Perkataan miraculum, berkait dengan kata kerja mirare, yang berarti ’melihat’ atau ’memandang’. Secara bebas miraculum berarti sesuatu yang mau tidak mau dilihat atau dipandang dengan mata terbelalak. Dengan demikian, proses demirakulisasi tidak lain adalah sebuah proses pengingkaran terhadap apa yang sebenarnya begitu jelas terlihat meskipun tidak bisa dijelaskan dengan akal budi.
Cara kerja yang dipilih menjadi jelas: Yesus yang benar-benar ada secara historis harus dijelaskan dan direkonstruksi dengan menyingkirkan segala hal ajaib atau mukjizat seperti dikisahkan dalam Alkitab. Pembuktian Yesus Historis dalam proses demirakulisasi mengharuskan sang peneliti memilih data yang masuk akal saja. Dalam praktiknya, ini bisa membuat sang peneliti mengambil data yang diperlukan terlepas dari konteksnya begitu saja. James D Tabor, penulis buku The Jesus Dynasty, adalah salah satu peneliti yang mengikuti cara kerja seperti ini.
Dua contoh kecil bisa diperlihatkan di sini. Pertama, Tabor mencoba menjawab pertanyaan tentang profesi Yesus sebelum Ia tampil secara publik di Galilea. Perkataan Yunani dalam Injil adalah tektôn. Kamus besar yang disusun oleh Bauer, Arndt, Gingrich (1957) menjelaskan tektôn sebagai carpenter, wood-worker, builder. Tabor begitu saja memilih arti tektôn sebagai builder (tukang bangunan; tukang batu). Untuk mendukung argumennya ia merujuk pada tulisan yang sekarang dikenal sebagai Protoevangelium Yakobus 9:3 yang mengatakan bahwa pekerjaan Yusuf adalah sebagai tukang bangunan. Tabor hanya memilih satu rujukan kecil ini untuk mendukung hipotesisnya bahwa Yesus pun bekerja sebagai tukang bangunan.
Tulisan Protoevangelium Yakobus sudah beredar sekitar tahun 150 M. Argumen-argumen penting dalam tulisan ini justru bertujuan membuktikan kelahiran ajaib Yesus melalui Maria yang masih perawan dan tetap perawan sesudah kelahiran Yesus. Tabor siap menggunakan bahan di luar Alkitab untuk mendukung argumennya meskipun untuk itu ia harus mengambil rujukan kecil dari sebuah bahan yang justru berlawanan arah dengan cara kerja demirakulisasi yang dipilihnya. Dengan kata lain, untuk mendukung argumennya, Tabor siap mengambil sebuah teks dan melepaskannya dari konteks begitu saja. Menurut kacamata keahlian saya dalam bidang tafsir, pemisahan teks dari konteks adalah sebuah kesalahan metodologis yang sungguh fatal.
Kedua, Tabor mencoba membuat rekonstruksi kronologis tahap perjalanan Yesus dan para murid-Nya menuju Jerusalem dan hari-hari terakhir-Nya di sana. Dengan menggabungkan berbagai data dan loncatan-loncatan kreatif berdasarkan informasi dari Injil, sebuah kronologi diusulkan. Namun, satu hal segera menjadi jelas. Ada satu bahan yang dalam konteks Injil memiliki arti penting yang justru dihindari oleh Tabor.
Dalam Injil Yohanes bab 11 dikisahkan bahwa di sebuah kampung yang bernama Betania, Yesus membangkitkan Lazarus dari kematiannya. Kisah Yesus yang menyembuhkan dan kisah Yesus yang membangkitkan orang mati tentu saja berada di luar ranah pembuktian mukjizat berdasarkan gejala-gejala alam.
Lebih dari itu, bila Tabor menggunakan kisah tentang kebangkitan Lazarus ini, ia tentu akan harus juga menerima kemungkinan adanya kebangkitan Yesus sendiri dari mati. Padahal, argumen penting yang justru sedang diperjuangkan adalah untuk membuktikan bahwa Yesus tidak bangkit. Tabor ingin membuktikan bahwa tubuh Yesus telah dipindahkan oleh para pengikut-Nya dari tempat semula Ia dimakamkan setelah penyaliban, ke tempat yang baru. Untuk maksud itu Tabor berani membuat pernyataan bahwa Ia telah menemukan makam Yesus dan keluarga-Nya.
Temuan arkeologis
Temuan arkeologis yang kembali hangat belakangan ini dan penggunaannya untuk sebuah pembuktian Yesus Historis perlu ditempatkan secara jelas dalam kerangka cara kerja demirakulisasi para peneliti yang terlibat di dalamnya. Hasil proses semacam inilah yang tersaji ke kalangan publik.
Film dokumenter The Lost Tomb of Jesus dengan produser pelaksana James Cameron, buku karangan Simcha Jacobovici dan Charles Pellegrino The Jesus Family Tomb: The Discovery, the Investigation, and the Evidence that Could Change History, dan buku James D Tabor The Jesus Dynasty adalah bukti hasil kerja peneliti yang berprinsip "yang ajaib pasti tidak historis."
Sikap terhadap publikasi semacam ini akan sangat ditentukan oleh penerimaan atau penolakan terhadap prinsip tersebut. Bila menerima prinsip tersebut, berarti orang harus menolak kebenaran empiris yang justru masih berlangsung sampai hari ini, yakni bahwa "yang ajaib bisa sungguh historis".
Hal yang sama berlaku dalam bersikap terhadap kebangkitan Yesus. Kebangkitan Yesus dengan seluruh tubuh-Nya adalah peristiwa ajaib. Maka, bagi para peneliti ini harus disimpulkan bahwa hal itu pasti tidak historis. Yang historis adalah bahwa Yesus tidak bangkit dengan seluruh tubuh-Nya. Untuk membuktikannya, temuan makam di Talpiot dijadikan sebagai argumen penting. Pertanyaan untuk sebuah temuan arkeologis senantiasa berkaitan dengan hubungan antara artefak arkeologis dan data dalam Alkitab.
Fakta pertama.
Pada tahun 1980 ditemukan 10 osuarium (tempat tulang) di makam Talpiot, sebelah selatan kota lama Jerusalem. Satu di antaranya dinyatakan hilang. Pada sembilan osuarium itu ada enam yang memiliki inskripsi nama-nama: Yesus anak Yusuf, Maria, Mariamene e Mara (Maria Magdalena), Yoses, Matius, Yudas anak Yesus.
Seluruh inskripsi tersebut tertulis dalam bahasa Aram, kecuali inskripsi Maria Magdalena yang tertulis dalam bahasa Yunani.
Fakta kedua.
Nama-nama tersebut adalah nama-nama yang sangat umum dimiliki oleh orang pada zaman itu di wilayah tersebut. Meskipun demikian, bahwa nama-nama semacam itu ditemukan sebagai sebuah kesatuan di satu kompleks makam adalah sebuah kenyataan yang sangat unik.
Peluang empat nama (Yesus anak Yusuf, Maria, Maria Magdalena, Yoses) dalam cluster semacam itu adalah 1:600.
Demikian pendapat Prof Andrey Feuerverger, pakar statistik dari Universitas Toronto.
Fakta ketiga.
Hasil uji DNA terhadap endapan organik pada osuarium "Yesus anak Yusuf" dan osuarium "Maria Magdalena" tak memperlihatkan adanya hubungan persaudaraan di antara keduanya menurut garis ibu.
Bila ingin setia pada data-data empiris semacam ini, kesimpulan yang harus diambil adalah:
- Ada sebuah kompleks makam keluarga tempat ditemukan 10 osuarium; satu dari osuarium itu telah hilang; enam dari yang masih ada memiliki inskripsi nama-nama yang sangat umum;
- Kesatuan nama-nama umum itu hanya terjadi satu kali dari antara 600 kasus;
- Yesus anak Yusuf dan Maria Magdalena bukan saudara-saudara sekandung.
Kesimpulan yang lebih dari itu adalah hipotesis.
Satu hipotesis yang belum berdasarkan fakta justru dijadikan sebagai kesimpulan oleh Tabor.
Di sini Tabor sudah berkeyakinan bahwa osuarium lain dengan inskripsi "Yakobus, anak Yusuf, saudara dari Yesus" adalah satu osuarium yang hilang dari makam keluarga di Talpiot itu.
Hipotesis lain adalah ikatan perkawinan antara "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena".
Hipotesis lanjutan dari ini adalah bahwa "Yudas anak Yesus" adalah anak dari perkawinan antara "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena" itu.
Masih perlu dilihat bagaimana uji DNA terhadap endapan organik dalam osuarium "Yudas anak Yesus" tersebut.
Hipotesis paling berani adalah dengan mengatakan kemungkinan bahwa "Yesus anak Yusuf" itu adalah Yesus yang dikisahkan dalam Injil.
Ini sama saja dengan seorang peneliti asing di abad-abad kemudian yang bisa menyimpulkan bahwa sebuah makam dengan nama "Bambang anak Suharto" di sebuah tempat di bumi ini adalah makam Bambang anak dari seorang bernama Suharto yang selama bertahun-tahun menjadi penguasa tunggal di sebuah negeri di bumi ini. Tidak mustahil bahwa Bambang yang dimakamkan di sana adalah Bambang preman pasar di kampung sekitar makam itu yang bapaknya bernama Suharto yang punya toko kelontong dekat alun-alun.
Yesus yang mana?
Di sinilah letak persoalan paling serius dalam penelitian Yesus Historis berdasarkan temuan arkeologis saat ini. Ada sebuah makam dengan osuarium bernama "Yesus anak Yusuf".
Sungguh tidak mustahil bahwa artefak yang tersedia ini adalah sebuah keunikan istimewa, satu dari 600 kemungkinan kasus, yang merupakan makam dari seorang yang sama sekali lain. Hipotesis berikut ini sama kuatnya dan harus bisa diterima.
Ada seorang pedagang yang cukup kaya di Jerusalem pada dekade pertama abad Masehi. Nama orang itu adalah Yusuf. Seorang anaknya yang bernama Yesus itu bekerja sebagai seorang ahli hukum yang mencapai puncak kariernya setelah berhasil menentang dan menghukum mati seorang guru eksentrik berasal dari Nazaret yang juga bernama Yesus. Suatu hari Yusuf dan Maria istrinya memutuskan mengadopsi seorang anak putri dari Magdala, dan mereka beri nama Maria Magdalena. Yesus sang ahli hukum itu pernah punya hubungan dekat dengan seorang perempuan sehingga ia punya anak, tetapi lalu ditinggal pergi oleh kekasihnya itu. Yesus ini akhirnya harus menitipkan anaknya yang bernama Yudas untuk diasuh oleh Yusuf dan Maria. Demikianlah pada akhirnya satu per satu mereka mati. Jasad-jasad Yusuf, Maria, Maria Magdalena, Yesus anak Yusuf, dan Yudas anak Yesus ini akhirnya dimakamkan di kompleks makam keluarga yang sudah mereka siapkan di Talpiot.
Berabad-abad kemudian sekelompok peneliti menemukan makam itu dan mulai menduga- duga bahwa Yesus dalam makam itu adalah Yesus yang diyakini oleh orang Kristiani sebagai Tuhan yang bangkit dengan seluruh tubuh-Nya. Maka, sungguh masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan seperti itu. Terlalu dini juga untuk mulai yakin bahwa kebangkitan Yesus dari Nazaret itu adalah sebuah metafora belaka, bukan persitiwa historis; sebuah metafora yang bergerak hanya dalam ranah subyektif, bukan obyektif. Maka, pilihannya kembali antara prinsip "yang ajaib pasti tidak historis" atau "yang ajaib bisa sungguh historis".
DESHI RAMADHANI Dosen Tafsir Kitab Suci di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta sumber
No comments:
Post a Comment