Acara musik berakhir dengan kunjungan oleh polisi syariah Aceh
Polwan Syariah |
Aparat setempat mengatakan bahwa penggemar menyerang mereka ketika mereka tiba untuk menutup konser di larut malam ini. Namun, sejumlah pihak di daerah tersebut, menuduh penegak syariah berlagak sombong.
Di Provinsi Aceh di Indonesia, yang diatur berdasarkan hukum syariah, sebuah kejadian baru-baru ini yang melibatkan suatu acara musik larut malam telah memicu perdebatan mengenai cara penegakan norma Islam.
Ratusan penggemar bergoyang mengikuti irama Dangdut di Karang Anyar, sebuah desa dekat Langsa di Aceh timur, pada 25 Agustus larut malam. Tiba-tiba, enam pria naik ke atas panggung. Salah satunya adalah Ibrahim Latif, kepala Syariah Islam di Langsa. Yang lain adalah anggota polisi Syariah, Wilayatul Hisbah (WH).
Ibrahim memerintahkan musik dihentikan karena, katanya, pemerintah kota Langsa melarang pertunjukan larut malam. Waktu saat itu adalah 11.45 malam.
Menurut Ibrahim, para penggemar musik tidak berminat untuk mematuhi. Puluhan penonton bergegas ke panggung, dan lampu padam. Para penggemar yang marah diduga mulai memukuli dan menendangi polisi Syariah. Para penghibur - tiga penyanyi wanita dan seorang pemain keyboard - dengan cepat meninggalkan panggung.
"Saya menerima dua pukulan di wajah. Beberapa anggota WH juga dipukuli dan ditendangi oleh penggemar dangdut yang mabuk. Kami hanya berusaha untuk menghindari pukulan. Kami tidak bisa melawan karena jumlah mereka begitu banyak," kata Ibrahim kepada Khabar Southeast Asia.
"Ketika kami meninggalkan lokasi, mereka masih mengejar dan melempari kami dengan batu. Syukurlah tidak ada yang terluka," katanya. Beberapa jam sebelumnya, polisi Syariah membubarkan konser lain di sebuah desa yang berbeda tanpa insiden, katanya.
"Musiknya tidak menjadi masalah, tetapi para penyanyi mengenakan pakaian yang sangat ketat. Selain itu, penonton minum alkohol. Ini jelas melanggar qanun Syariah di Aceh," kata Ibrahim.
Warga Langsa menanggapi
Namun, sejumlah pihak menentang versi kejadian Ibrahim.
"Pementasan keyboard itu tidak gaduh atau mabuk, seperti yang mereka katakan. Acara musik ini merupakan bagian dari rangkaian acara yang merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-68," menurut Sukri Asma, warga muda di Langsa.
"Polisi Syariah selalu berkelakuan sangat sombong terhadap masyarakat biasa. Ibrahim sering melakukan hal-hal yang tidak disukai orang ketika ia menegur orang yang dicurigai melanggar hukum Syariah," bantah Nurfajri, 23 tahun.
"Tahun lalu, dia menuduh seorang gadis sebagai pelacur karena gadis itu duduk di Lapangan Merdeka di Langsa dengan teman-temannya setelah malam tiba. Beberapa hari kemudian, gadis itu bunuh diri saat tuduhan Ibrahim diterbitkan di media setempat," katanya.
Fahmi, 35, berkata bahwa warga Langsa seringkali menikmati Dangdut, terutama saat acara pernikahan dan sekitar Hari Kemerdekaan.
"Saya tidak mengerti mengapa hal itu dilarang. Jika memang beberapa orang mabuk, uruslah mereka. Musik dangdut tidak dilarang di bawah hukum Syariah di Aceh. Jika kita tidak boleh mengadakan acara dangdut, mengapa mereka tidak langsung saja mengatakan begitu?"
Sementara itu, Kepala Desa Karang Anyar, Ahmad Tukiran, membantah bahwa polisi syariah diserang.
"Ibrahim dan beberapa anggota WH naik ke panggung. Mereka meminta kelompok Dangdut untuk berhenti. Kemudian sejumlah aparat desa juga naik ke panggung. Tak lama kemudian, musik keyboard berhenti dan kerumunan segera bubar," katanya kepada Khabar.
"Jadi, tidak ada penyerangan dan pemukulan terhadap Ibrahim dan WH. Logikanya, jika [mereka] diserang oleh kerumunan seperti kata Pak Ibrahim, pasti ada orang yang dirawat di rumah sakit. Nyatanya, mereka semua baik-baik saja," imbuhnya.
Namun, Ibrahim bersikeras ceritanya adalah benar. Dia berkata, insiden serupa telah terjadi sebelumnya, dan aparat setempat tidak peduli.
"Saya ragu-ragu untuk melaporkan kejadian tersebut karena saya tidak yakin akan ada tindak lanjut. Pada tahun 2012, anggota WH dilempari botol saat bertugas, tapi tidak ada tindakan," katanya.
Disarankan perubahan taktik
Sementara itu, politisi dan tokoh masyarakat Aceh mengatakan kasus ini menunjukkan perlunya kesadaran publik yang lebih baik mengenai hukum syariah serta perilaku yang lebih sensitif dari pihak penegak hukum.
"Di Langsa, telah ada beberapa kasus serangan di mana WH konon bertindak arogan. Kita harus menggunakan pendekatan persuasif, sehingga masyarakat akan menerimanya," kata Destika Gilang Lestari, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Dia berkata, polisi harus melakukan penyelidikan atas serangan yang dituduhkan. "Kita tidak boleh membiarkan tindakan anarkis," katanya.
Pemerintah perlu berusaha lebih baik dalam menjelaskan pentingnya hukum Syariah ke penduduk Aceh, menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Moharriadi Syafar.
"Semangat hukum Islam di Aceh harus terus ditingkatkan sehingga tidak ada pelanggaran lebih lanjut. Sebenarnya, melakukan razia adalah bagian dari meningkatkan kesadaran," katanya kepada Khabar.
Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Aceh Tengku Faisal Ali berkata bahwa serangan-serangan ini membuktikan, pemerintah harus segera meratifikasi Qanun Jinayah (QJ) yang lebih ketat, yang menjelaskan secara amat terperinci apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan kaum Muslim.
"Sejauh ini, Qanun di Aceh sangat lemah. Jika QJ tidak disahkan, saya rasa akan lebih sulit untuk menegakkan hukum Islam," kata Faisal, yang juga merupakan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
sumber: khabarsoutheastasia
No comments:
Post a Comment