Larangan Islam (Aceh) atas busana tidak Islami
wanita muslimah wajib taat |
Mengenakan celana jins atau celana pendek dapat menyebabkan hukuman pukulan sementara para aparat Banda Aceh memperketat penegakan hukum berdasarkan Syariah terhadap cara berpakaian. Beberapa orang berkata hal itu menyerang kebebasan pribadi mereka.
Provinsi Aceh di Indonesia, yang berada di bawah hukum Syariah sejak perjanjian desentralisasi pada tahun 1999, sedang menindak celana jins, celana pendek, kaus kutang, celana ketat, dan pilihan berbusana lainnya yang dianggap tidak pantas atas dasar agama. Para pendukung tindakan yang lebih ketat ini berkata bahwa aturan ini dibutuhkan untuk menolak pengaruh dari barat.
Seorang petugas polisi Syariah mengawal wanita yang tertangkap mengenakan celana ketat selama razia jalanan di kabupaten Arongan Lambalek, Aceh Barat, pada tanggal 26 Mei 2010. Awal bulan ini, seorang petugas Syariah di Aceh berkata bahwa toko-toko akan dilarang menjual busana semacam itu di provinsi tersebut.
Seorang petugas polisi Syariah mengawal wanita yang tertangkap mengenakan celana ketat selama razia jalanan di kabupaten Arongan Lambalek, Aceh Barat, pada tanggal 26 Mei 2010. Awal bulan ini, seorang petugas Syariah di Aceh berkata bahwa toko-toko akan dilarang menjual busana semacam itu di provinsi tersebut.
Sementara itu, para kritikus berkata tindakan ini merupakan pelanggaran yang tidak diinginkan terhadap kebebasan pribadi.
Direktur pengendalian dan penegakan untuk kepolisian Syariah Aceh, Samsuddin, mengumumkan pada tanggal 7 Juni bahwa toko-toko eceran di Aceh akan segera menerima pengarahan yang memperingatkan mereka untuk tidak membeli atau menjual pakaian ketat. Komentarnya datang setelah terjadi razia di mana 50 wanita berbusana tidak layak ditangkap dekat sebuah mesjid di Banda Aceh, menurut kantor berita Aceh Kita.
Sampai baru-baru ini, penegak hukum Syariah lebih berfokus pada perjudian, penjualan narkoba dan alkohol, perzinahan, dan kedekatan hubungan antara individu yang tidak menikah. Namun administrasi setempat sekarang merasa terdorong untuk menindak apa yang dianggapnya sebagai ketidakhormatan yang makin marak atas aturan berbusana Islami di antara para pria maupun wanita.
Sayuti Abubakar, ketua Asosiasi Mahasiswa Magister Aceh (IMPAS), merupakan salah satu dari mereka yang mendukung penindakan ini.
"Sebagai warga Aceh yang mengerti budaya dan nilai-nilai Aceh, saya sangat menyetujui larangan berbusana ketat. Peraturan itu perlu untuk menyaring pengaruh barat dan memelihara nilai-nilai Aceh, yang berakar pada Islam," kata Sayuti, yang tinggal di Jakarta, kepada Khabar.
"Kaum muda harus mengingat jati diri mereka, dan jangan melupakan budaya kami sendiri."
Namun demikian, tidak semuanya setuju.
Ayu Priska, seorang calon perancang yang tinggal di Lhokseumawe, lima jam dari Banda Aceh, merasa terganggu oleh larangan itu, dan dia ragu larangan itu akan berlangsung lama. "Secara pribadi, saya tidak menyetujui larangan berbusana - itu masalah kebebasan pribadi," katanya kepada Khabar melalui telepon.
Kaum wanita di Aceh sudah merasa terintimidasi oleh polisi Syariah, atau Wilayatul Hisbah (WH), ujarnya.
"Seorang gadis memberi tahu saya bahwa dalam sebuah razia, seorang polisi merobek jinsnya dan menyuruhnya mengenakan sarung. Saya jadi berpikir apakah penegak hukum hadir untuk memperbaiki kami atau untuk menghina kami," tutur Ayu kepada Khabar.
Meutia Fachrina, seorang penjual busana dan penduduk Jakarta yang berasal dari Aceh, memberi tahu Khabar bahwa dia akan mematuhi peraturan itu pada saat dia berada di provinsi itu, meskipun peraturan itu membuatnya tidak nyaman.
"Saya pikir, peraturan berbusana ini tidak masuk akal untuk masa ini. Peraturan itu harusnya merupakan panduan yang jelas tetapi tidak terlalu mengekang - contohnya, bila seseorang mengenakan jins, maka dia harus juga mengenakan blus yang longgar agar terlihat sopan," ucap Meutia.
Ketika diminta tanggapan bagi perkembangan terakhir, Bonar Tigor Naipospos, wakil direktur utama Insitut Setara Demokrasi dan Perdamaian di Jakarta, berkata bahwa kelompoknya mencela peraturan daerah yang melanggar kehidupan pribadi rakyat.
"Di Aceh, Syariah mengontrol lingkungan masyarakat dan kehidupan penduduk. Syariah seharusnya menjadi panduan, dan bukannya kewajiban," katanya.
Hukum Syariah di Aceh hanya berlaku terhadap kaum Muslim, sementara kaum non-Muslim didorong untuk memperhatikan dan menghargai kebiasaan itu. Provinsi ini membentuk Pengadilan Syariah pertamanya pada tahun 2003, dan pada tahun 2004 sebuah dekrit gubernur dikeluarkan untuk mendirikan WH.
Para wanita dan pria Aceh yang tertangkap melanggar aturan berbusana Islami menerima penyuluhan dari WH dan mungkin harus membayar denda atau menandatangani pernyataan yang mengakui bahwa mereka telah melanggar Syariah.
Pelanggaran aturan berbusana lebih dari tiga kali dapat berakibat pada pemukulan secara umum, dan para penerima hukuman itu seringkali pindah ke desa atau kota lain untuk menghindari rasa malu.
No comments:
Post a Comment