Mekah dari masa IBRAHIM hingga QURAISY
Mekah terletak di antara Yaman (sebelah selatan) dan Palestina (sebelah utara). Kota ini berdiri sebagai sebuah lembah sempit di antara impitan gunung-gunung yang mengelilinginya. Pada masa lalu, untuk keluar masuk lembah ini harus melewati tiga jalan: arah dari dan keYaman, arah dari dan ke Laut Merah, dan arah dari dan ke Palestina.
Setelah masa Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s., Mekkah ditengarai tidak terlepas dari suku Amalik dan Jurhum. Kedua suku tersebutlah yang mengendalikan administrasi Kota Mekah. Suku Jurhum kemudian tercatat menetap di kota ini.
Kekuasaan suku Jurhum atas Mekah berakhir ketika Mudad bin Al Harith mengalahkan suku Amalik. Pada masa ini, perdagangan Mekah maju pesat dan mengalami kesejahteraan dan kenyamanan yang tinggi. Hal ini membuat mereka menjadi lupa bahwa mereka tinggal di sebuah lembah yang tidak subur dan harus selalu dirawat dan dijaga dengan telaten. Karena hal yang sangat berlebihan juga dari mereka, air Zamzam pun menjadi kering.
Masyarakat menjadi gelisah. Suku Khuzzaah pun kemudian berusaha mengambil alih kekuasaan. Mudad pergi ke sumber air Zamzam yang telah kering dan menggali lubang di sana. Ia menyembunyikan emas, pedang, dan kekayaan lainnya dengan harapan suatu hari akan mengambilnya lagi. Ia pun lantas meninggalkan Mekah. Semenjak itu, Mekah dikuasai suku Khuzzaah. Al Azraqi, seperti dikutip Zuhairi, suku ini berkuasa atas Mekah selama 300 tahun.
Berakhirnya kekuasaan suku Khuzzaah atas Kakbah karena kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan. Suku inilah yang mulai memalingkan ajaran tauhid Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. Mereka mulai membudayakan thawaf tanpa busana karena menurut mereka busana lebih dekat ke hal yang bersifat duniawi. Berhala-berhala mulai bertebaran di sekitar Kakbah. Fathi Fauzi Abdul Mu’thi menggambarkan kondisi ini sebagai berikut.
“Ajaran murni agam Ibrahim hamper musnah ditelan lautan penyimpangan. Beberapa keturunan Ismail ikut terpengaruh dan menyimpang dari agama nenek moyang mereka. Kebanyakan mereka hidup di luar Kota Mekah. Hanya segelintir saja di antara mereka yang memeluk agama Ibrahim dan menyebarkannya kepada orang-orang.”
Ujungnya, suku ini berseteru dengan suku Quraisy. Mereka memprotes jatuhnya kunci Baitul Haram kepada seseorang bernama Qushay dari suku Quraisy, yang oleh beberapa suku dianggap sebagai penduduk Mekah yang paling bijaksana. Karena tidak sepakat dengan sebagian besar penduduk Mekah, suku Khuzzaah kemudian diusir dari Mekah. Qushay sendiri lantas menyatukan semua urusan Baitul Haram. Suku-suku yang mendukungnya pun menyatakan setuju dengan kepemimpinan Qushay.
Sebelum itu, tidak boleh satu pun bangunan didirikan di dekat Kakbah karena memang kaum Khuzzaah maupun Jurhum tidak menginginkan rumah Allah bertetangga dengan bangunan lainnya. Namun, atas perintah Qushay, penguasa baru Mekah, larangan itu mulai berubah. Di dekat Kakbah, ia membangun sebuah balai kota bernama Daarun Nadwa, tempat para pemimpin Mekah merundingkan segala urusan kota dan bermusyawarah.
Ketika semakin tua dan lemah, Qushay merasa tidak lagi mampu mengurusi Mekah. Ia lantas memberikan hijaba (kantor pengawasan) dan kemudian kunci Baitul Haram ke Abdud Dar, putra tertua Qushay. Selanjutnya, diberikannya pula sikaja (urusan minum para pelawat), liwa (bendera), dan rifada (urusan makanan para pelawat). Rifada adalah sejumlah dana yang diberikan kaum Quraisy setiap tahunnya dari harta mereka kepada Qushay.
Abdud Dar kemudian mengurus Kakbah sesuai dengan yang diperintahkan ayahnya dan dilanjutkan oleh putra-putranya. Namun demikian, pada saat itu, putra-putra Abdu Manaf, salah seorang anak Qushay (adik dari Abdud Dar), yakni Hasim, Abdu Syam, Al Muthalib, dan Naufal lebih disukai dan dikenal masyarakat daripada putra-putra Abdud Dar. Oleh karena itu, atas dukungan masyarakat Mekah, mereka berempat bersatu dan berusaha mengambil alih kekuasaan yang ada ditangan sepupunya.
Pengambilalihan kekuasaan atas Kakbah ini hampir saja menimbulkan perang saudara. Namun, kedua belah pihak akhirnya bersepakat. Bani Abdu Manaf setuju untuk mengurus sikaja serta rifada. Sementara itu, Bani Abdud Dar mengurus hijaba, liwa, dan nadwa. Kedua pihak puas dengan solusi ini.
Salah seorang keturunan Abdu Manaf yang kemudian mendapat amanah mengurusi sikaja dan rifada adalah Hasyim. Ia adalah pemimpin suku Quraisy dan sangat kaya. Seperti yang telah dilakukan kakeknya, ia pun mengimbau masyarakat Mekah untuk menyumbangkan sebagian hartanya guna mengurusi para pelawat. Ia berpendapat bahwa pengunjung dan pelawat Kakbah adalah tamu Allah dan tamu memiliki hak dilayani dengan baik.
Kebaikan dan kemurahan Hasyim juga untuk penduduk Mekah. Saat musim kering, ia menyediakan makan dan tarid. Hal itu menyebabkan senyum di wajah penduduk Mekah, meskipun pada saat musim kering. Selain itu, Hasyim juga yang memulai peraturan berdagang di kalangan Qurasiy. Ia memerintahkan pergi ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Melalui aturan inilah kemudian Makkah berkembang dan mencapai kejayaan sampai kemudian diakui sebagai ibukota.
Pada masa kejayaan Mekah ini, putra-putra Abdu Manaf melakukan perjanjian keamanan dan perdamaian dengan daerah tetangga. Hasyim bahkan melakukan perjanjian dengan kerajaan Romawi dan dengan bangsawan Ghassan untuk kedamaian dan persahabatan bertetangga. Ia pula yang mengusahakan izin dari kekaisaran Romawi bagi kaum Quraisy untuk menyebrangi Syam. Abdu Syam, saudara Hasyim, mengadakan perjanjian dagang dengan Negus dari Abesinia. Sementara itu, Naufal dan Al Muthalib melakukan perjanjian dengan Persia dan perjanjian dagang dengan Hinjar di Yaman.
Hasyim tetap menjadi pemimpin Mekah hingga tua. Sebelumnya, ia menikah dengan Salma binti Amr dari suku Khazraj di Yatsrib. Darinya lahir Syaiba dan tinggal di Yatsrib bersama ibunya.
Mekah semakin terkenal. Kesejahteraannya pun meningkat. Pada saat itu, tidak seorang pun dapat menyaingi kemahiran orang Mekah berdagang. Karavan datang dari semua arah ke Mekah dan meninggalkannya di sana.
Setelah Hasyim meninggal, saudaranya, Al Muthalib, melanjutkan tanggung jawab Hasyim. Ia memang lebih muda daripada Abdu Syam. Akan tetapi, masyarakat Mekah lebih mengenal dan menghormatinya. Bangsa Quraisy menyebutnya sebagai “sang dermawan”.
Suatu saat, Al Muthalib pergi mengunjungi putra Hasyim, Syaiba, di Yatsrib. Karena satu dan lain hal, ia membawanya serta ke Mekah. Suku Quraisy mengira yang bersama Al Muthalib adalah budaknya. Oleh karena itu, Syaiba, yang sesunguhnya ponakan Al Muthalib, dipanggil dengan sebutan Abdul Muthalib oleh suku Quraisy. Beliaulah yang hingga sekarang sangat dikenal sebagai kakek Nabi Muhammad saw. Abdul Muthalib-lah yang kemudian menjadi pemimpin Mekah dan mengambil tanggung jawab sikaja dan rifada setelah pamannya, Al Muthalib, meninggal. Hal ini seperti yang banyak dikisahkan dalam buku-buku sirah Rasulullah saw.
Pada masa sebelum itu, masyarakat Mekah hidup tanpa sumur Zamzam. Sumur tersebut sudah sekian lama tertimbun atau sengaja ditimbun karena kering. Mereka hidup dengan air yang diambil dari sumur-sumur yang tersebar di sekitar Mekah.
Suatu saat, atas sebuah petunjuk dalam mimpinya, Abdul Muthalib mencoba menemukan kembali sumur Zamzam. Dengan dibantu anak tertuanya, Harits, Abdul Muthalib akhirnya dapat menemukan kembali sumur tersebut, setelah melakukan penggalian beberapa kali di beberapa tempat. Berkat rahmat Allah Swt. sumur yang pernah kering tersebut kini berlimpah air. Mereka pun menemukan harta yang ditimbun nenek moyangnya, Mudad bin Amr, berupa pedang, emas, dan harta lainnya.
Suku Quraisy menginginkan bagian dari Zamzam dan harta lain yang telah ditemukan Abdul Muthalib. Namun, Abdul Muthalib tidak setuju. Pedang-pedang diambil oleh Abdul Muthalib dan emas disimpannya di Kakbah. Pedang-pedang tersebut kemudian dilebur dan dijadikan pintu untuk Kakbah olehnya. Sementara itu, emas dan harta lain dijadikan dekorasi untuk Baitul Haram. Semenjak ditemukannya Zamzam, pengurusan sikaja pun menjadi lebih mudah.
No comments:
Post a Comment