Hukum foto dan melukis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Setiap pelukis (makhluk bernyawa) di neraka dijadikan untuknya bagi setiap gambar yang dia lukis jiwa yang tersiksa karenanya di neraka Jahannam”. (H.R. Muslim)
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam menegaskan: “Manusia yang paling berat siksaannya adalah mereka yang menandingi dalam ciptaan Allah”. (H.R Bukhari dan Muslim).
Sementara gambar yang tidak bernyawa dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bahwa Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
“Dan Siapakah manusia yang paling dzalim daripada orang yang berusaha menciptakan suatu ciptaan seperti ciptaan-Ku, hendaklah menciptakan jagung atau menciptakan biji-bijian atau menciptakan gandum”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian gambar-gambar yang diharamkan hanyalah lukisan yang dihasilkan oleh tangan manusia secara langsung. Adapun gambar yang dihasilkan oleh kamera maka terdapat perbedaan diantara pada ulama, namun dalam pandangan hukum dan kaidah fikih yang mengharamkan lebih hati-hati, sementara yang membolehkan hal ini lebih sesuai dengan kaidah maslahat karena asal segala benda adalah mubah kecuali ada dalil yang menghalalkan atau mengharamkan. Sedangkan asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang menegaskan baik perintah atau larangan. (Lihat Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin 2/ 264-265).
Akan tetapi gambar-gambar yang sulit dihindari maka Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan sebagai berikut: “bahwa gambar-gambar yang sekarang sulit dihindari umat manusia yang terdapat pada benda-benda yang menjadi kebutuhan mereka secara darurat maka bila memungkinkan untuk menghindari maka lebih bagus namun bila tidak, karena adanya kesulitan dan keberatan untuk menghindarinya yaitu gambar-gambar yang ada pada beberapa majalah dan koran yang banyak mengandung unsur manfaat bimbingan dan pengarahan, maka saya memandang bila gambar bukan menjadi tujuan maka tidak mengapa, apalagi gambar-gambar tertutup, tidak nampak dan tidak terpampang”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 2/ 286).
Para ulama lain yang membolehkan fhoto antara lain adalah Syeikh Muhammad al-`Arifi, Syeikh Muhammad Nashir bin Sulaiman al-`Umr, Syeikh Salman Al-`Audah, Syeikh. Dr. Abdul Aziz bin Fauzan al-Fauzan, Syeikh Kholid bin Abdulloh al-Mushlih, Syeikh Jadul Haq `Ali Jadul Haq, Syeikh Abdurrohman Abdul Kholiq, Syeikh Dr. Abdulloh al-Faqih, Dr. Wahbah Zuhaili, Lajnah Fatwa Mesir dan masih banyak yang lainnya.
Jadi asal hukum photo dibolehkan tergantung pada tujuan dan bentuknya, jika untuk tujuan yang haram, akan jadi haram dan untuk tujuan yang dibolehkan, maka boleh.
Pemajangan gambar para ustadz di baliho-baliho memiliki unsur pengenalan kepada kaum muslimin secara umum, untuk menumbuhkan kepercayaan publik tentang sosok mereka sebagai pengusung dakwah sunniyyah. Karena kita lihat di sisi lain, dakwah-dakwah yang mengusung ketidakmurnian semakin dikenal luas dan menggema disebabkan iklan gambar yang terus menerus mereka lakukan, sehingga umat terpesona dan terpedaya. Dengan demikian menggunakan sarana yang dibolehkan seperti yang dijelaskan di atas untuk kepentingan dakwah yang lebih luas berarti dibolehkan.
Sedangkan memajang gambar di rumah atau di ruangan ibadah seperti masjid atau pengajian, tentu hukumnya haram, karena para Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar. (jadi ini hukum memajang, yang dalam hal ini hukumnya berdiri sendiri sesuai dengan kedudukan dan tempat masing-masing)
No comments:
Post a Comment