Hukum Menghadap Kiblat Dalam Shalat
Menghadap kiblat dalam shalat adalah syarat sah shalat. Para ulama telah ber-ijma akan kewajiban menghadap kiblat dalam pelaksanaan shalat. Kewajiban menghadap kiblat ini berdasarkan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma. Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa tidak ada perselisihan pendapat dalam kewajiban menghadap kiblat.[i]
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 144:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS.al-Baqarah: 144)
Sebelum ayat ini turun, Ummat Islam pada saat itu menghadap Baitul-Maqdis dalam shalatnya. Kemudian ayat ini turun men-nasakh hukum tersebut dan memerintahkan untuk menghadap kiblat. Ibn Abbas radhiallahu berkata, “Yang pertama kali dinasakh dalam al-Qur’an adalah perkara kiblat.”
Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala menggunakan kata perintah (فَوَلِّ) yang menunjukan perintah untuk menghadapkan wajah ke arab kiblat. Dan arah kiblat ditunjukan dalam kalimat (شَطْرَ) yang bermakna arah. Ibn Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk menghadap kiblat dari semua arah muka bumi, baik timur, barat, utara dan selatan.”[ii]
Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
لَا خِلَافَ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةٌ فِي كُلِّ أُفُقٍ، وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ شَاهَدَهَا وَعَايَنَهَا فُرِضَ عَلَيْهِ اسْتِقْبَالُهَا، وَأَنَّهُ إِنْ تَرَكَ اسْتِقْبَالَهَا وَهُوَ مُعَايِنٌ لَهَا وَعَالِمٌ بِجِهَتِهَا فَلَا صَلَاةَ لَهُ، وَعَلَيْهِ إِعَادَةُ كُلِّ مَا صَلَّى
Tidak ada perselisihan di antara ulama bahwa ka’bah adalah kiblat dari semua penjuru. Dan mereka-pun ber-ijma bahwasannya barangsiapa yang menyaksikannya secara langsung dengan mata kepala maka diwajibkan atasnya untuk menghadapnya. Dan bahwasannya barangsiapa tidak menghadapnya sedang dia melihat langsung (ka’bah) dan mengetahui arahnya maka tidak ada shalat baginya dan dia harus mengulang shalatnya.[iii]
Beliau al-Qurthubi rahimahullah juga mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ كُلَّ مَنْ غَابَ عَنْهَا أَنْ يَسْتَقْبِلَ نَاحِيَتَهَا وَشَطْرَهَا وَتِلْقَاءَهَا، فَإِنْ خَفِيَتْ عَلَيْهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَدِلَّ عَلَى ذَلِكَ بِكُلِّ مَا يُمْكِنُهُ مِنَ النُّجُومِ وَالرِّيَاحِ وَالْجِبَالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يُمْكِنُ أَنْ يُسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى نَاحِيَتِهَا.
Dan mereka (para ulama) telah ber-ijma bahwa barangsiapa ghaib (yaitu tidak melihat ka’bah secara langsung) maka hendaknya dia menghadap arah ka’bah tersebut. Jika tidak nampak, maka baginya menggunakan petunjuk yang memungkinkan dari bintang, angin, gunung dan selainnya yang memungkinkan bisa dijadikan petunjuk untuk menunjukan arah kiblat.[iv]
Adapun landasan dalil dari al-Sunnah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak mendirikan shalat maka sempurnakanlah wudhumu, kemudian menghadap-lah ke kiblat lalu bertakbirlah.” (HR. al-Bukhari Muslim)
Dua dalil di atas, menjelaskan akan kewajiban menghadap kiblat dalam shalat dan bahwa perekara ini termasuk perkara yang sudah di-ijma’kan oleh para ulama dan ummat Islam. Kemudian, pengamalan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya memperkuat dalil masalah ini, berikut beberapa riwayat yang menjelaskan perihal menghadap kiblat.
Al-Bukhari Dari Barra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Ansar. Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka’bah) sebagai kiblatnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka’bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku’ menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, “Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghadap ke Baitullah di Makkah.” Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah. Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu. Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra’ dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, “Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”(QS. Al Baqarah : 143)
Dan dari Ibnu Umar radhiallahu anhu, ia berkata: ketika orang-orang berada di Quba’ (waktu shalat subuh) tiba-tiba ada seseorang datang kepada mereka, lalu ia berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam, pada malam ini telah diturunkan kapadanya ayat Al Quran, dan sesungguhnya ia diperintahkan untuk menghadap qiblat, oleh karena itu menghadaplah ke qiblat, sedang muka-muka mereka waktu itu menghadap ke Syam, kemudian mereka berputar ke jurusan Ka’bah.” (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Muslim meriwayatkan dari Anas, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, pernah shalat menghadap kejurusan baitul maqdis, lalu turunlah ayat: “Sesungguhnya kami mengetahui berbolak-baliknya mukamu ke langit, oleh karena itu (sekarang) kami memalingkan kamu ke satu qiblat yang pasti kamu rela, maka hadapkanlah mukamu kejurusan Masjidil Haram.” Kemudian seorang laki-laki dari Bani Salamah berjalan (sedang mereka semua sedang ruku’ dalam sembahyang subuh) dan mereka sudah sembahyang satu raka’at. Lalu iya menyeru: ketahuilah! sesunguhnya qiblat telah dipindahkan. Lalu mereka berpaling sebagaimana keadaan mereka kejurusan qiblat.” (HR Muslim, Ahmad dan Abu Daud).
Berikut penjelasan ulama dari empat mazhab yang menjelaskan tentang menghadap kiblat dalam shalat:
Al-Kasani rahimahullah mnjelaskan bahwa menghadap kiblat sudah di-ijmakan oleh ummah ini, kemudian beliau berkata, “Hukum asalnya, sesungguhnya menghadap kiblat dalam shalat merupakan syarat tambahan yang tidak dipahami maknanya.”[v]
Ibn Rusd rahimahullah berkata, “Ummat Islam telah sepakat bahwa menghadap ke arah al-Bait (Ka’bah) termasuk syarat dari syarat-syarat shalat.”[vi]
Al-Nawawi rahimahullah berkata:
الباب الثالث في استقبال القبلة :وهو شرط لصحة الفريضة، إلا في شدة خوف القتال المباح، وسائر وجوه الخوف. وشرط لصحة النافلة، إلا في الخوف، والسفر المباح. والعاجز، كالمريض لا يجد من يوجهه.
Bab Ketiga Mengenai Menghadap Kiblat. Menghadap kiblat adalah syarat sah shalat fardhu kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat dalam peperangan yang dibolehkan, dan semua hal yang menyebabkan ketakutan. Menghadap kiblat juga menjadi syarat sah untuk shalat sunnah kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat, perjalanan yang mubah, dan tidak mampu, seperti orang yang sakit dan tidak ada yang menghadapkannya.[vii]
Ibn Qudamah rahimahullah berkata:
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْفَرِيضَةِ وَالنَّافِلَةِ ؛ لأَنَّهُ شَرْطٌ لِلصَّلَاةِ ، فَاسْتَوَى فِيهِ الْفَرْضُ وَالنَّفَلُ ، كَالطَّهَارَةِ وَالسِّتَارَةِ ، وَلِأَنَّ قَوْله تَعَالَى : ﴿وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ﴾ عَامٌّ فِيهِمَا جَمِيعًا.
Telah kami sebutkan bahwannya menghadap kiblat adalah syarat sah shalat. Tidak ada perbedaan antara sholat fardhu dengan sholat sunnah karena menghadap kiblat itu adalah syarat sholat, dan dalam masalah ini sama antara fardhu dan sunnah; seperti halnya bersuci dan menutup aurat. Dikarenanya firman Allah Ta’ala, “Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” berlaku umum baik untuk sholat fardlu maupun nafilah.”[viii]
Demikianlah penjelasan beberapa ulama dari empat mazhab tentang menghadap kiblat. Pandangan ulama empat mazhab ini, dijelaskan pula oleh Al-Syaukani rahimahullah tatkala menjelaskan salah satu hadits tentang menghadap kiblat, beliau berkata, “Sesungguhnya yang diwajibkan bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah menghadap ke arah bukan pada bangunan Ka’bah (al-Ain). Ini adalah pendapat yang dianut Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad serta pendapat ini adalah pendapat yang nampak dari al-Syafii sebagaimana dinukil oleh al-Muzani”[ix]
Yang dikecualikan dalam masalah menghadap kiblat yaitu shalat sunnah dalam perjalanan, dalam kondisi ini maka mengikuti kemana arah kendaraan, kemudian dalam kondisi perang dan seseorang yang tidak mengetahui arah kiblat setelah dia berusaha berijtihad mencari arah kiblat yang benar.
رَوَي اْلبُخَارِيُّ عَنْ جَابِرٍ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir, bahwa beliau berkata, “Adalah Rasulallah shallallahu alahi wasallam shalat di atas kendaraannya dengan menghadap arah yang dituju kendaraan. Dan jika beliau hendak shalat fardhu maka beliau turun dan menghadap kiblat.” (HR. al-Bukhari No.400)
Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan faidah hukum dari hadits tersebut dengan mengatakan, “Hadits ini menunjukan untuk tidak meninggalkan menghadap kiblat dalam shalat fardhu, dan perkara ini sudah ijma’. Akan tetapi tatkala dalam kondisi takut yang sangat maka itu mendapatkan rukhsah.”[x]
رَوَي اْلبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلاَةَ اللَّيْلِ إِلاَّ الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibn Umar radhiallahu anhu bahwa beliau berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari No.1000)
رَوَي اْلبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn Umar radhiallahu anhuma bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mengerjakan shalat sunnah di atas punggung unta kemanapun arah menghadap. Beliau memberikan isyarat dengan kepalanya. Ibn Umar-pun melakukan hal serupa. (HR. al-Bukhari No.1105)
Disusun: Abu Mujahidah al-Ghifari, Lc, M.E.I.
Ma’had Huda Islami Program Beasiswa Sarjana Qur’ani
Bogor 14-01-2014
- [i] Lihat Ahmad Ibn Abd al-Halim Ibn Taimiyyah, Majmu’ah al-Fatawa, Takhrij: Amir al-Jazar dan Anwar al-Baz, Riyadh: Maktabah al-Ubaikan, Cetakan Pertama, 1998, Jilid 11, Hlm.483
- [ii] Ahmad Syakir, Umdah at-Tafsir an al-Hafidz ibn katsir, Beirut: Daar al-wafa, Cetakan keduam 2005, Jilid 1, Hlm.195
- [iii] Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, al-Jami Li ahkam al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, Cetakan Keempat, 2001, Jilid 2, Hlm.156
- [iv] Ibid, Jilid 2, Hlm.156
- [v] Abu Bakr ibn Mas’ud al-Kasani, Bada’i al-Shana’I Fi tartib al-Syara’i, Beirut: Ihya al-Turats al-Arabi, Cetakan Kedelapan, 1998 Jilid 1, Hlm.308
- [vi] Muhammad ibn Ahmad ibn Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Cetakan Pertama, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 2009, Hlm.93
- [vii] Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, Raudah al-Thaliibn wa Umdah al-Muftin, Beirut: al-Maktabu al-Islami, Cetakan Ketiga, 1991, Jilid 1, Hlm.209
- [viii] Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah, al-Mughni, Riyadh: Dar Alam al-Kutub, Cetakan Ketiga, 1997, Jilid 2, Hlm.100
- [ix] Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqq al-Akhbar, Kairo: Dar al-Hadits, 2005, Jilid 2, Hlm.526
- [x] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, Riyadh: Dar al-Salam, Cetakan Pertama, 2000 M, Jilid 1, Hlm.265
No comments:
Post a Comment